Mohon tunggu...
Putri Ana Nurani
Putri Ana Nurani Mohon Tunggu... -

silahkan kunjungi http://www.poetryana.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kaitan RUU Pornografi & Pornoaksi dengan Psikologi Remaja

30 Oktober 2013   13:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:50 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain peran orangtua, perkembangan psikologi anak juga dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya (cara pergaulannya) sehingga dengan siapa, bagaimana, dimana, sangat menentukan perilaku anak. Adalah hal utama membuatkan frame apa yang baik untuk pergaulan anak. Anak yang bergaul ditempat yang baik maka perilakunya baik. Sebaliknya anak bergaul dengan teman yang kurang baik, seperti merokok, tawuran, akan mudah terpengaruh melakukan tindakan kejahatan / kriminal. Memberikan pengertian dan teladan akan hak dan kewajiban, melatih anak bersikap mandiri.

Jika flashback peristiwa lalu, sebenarnya masalah kenakalan remaja mulai menjadi sorotan sejak dibentuknya suatu pengadilan untuk anak-anak nakal-juvenille court di tahun 1899 di Cook Country, Illinious, Amerika Serika. Pada waktu itu peradilan ini berfungsi sebagai parentis yang memberikan keputusan terkait keputusan permasalahan kepentingan anak dan masyarakat. Maka kenakalan anak dibawah umur 13 tahun adalah hal yang wajar dalam pandangan umum, sedangkan kenakalan anak diatas 18 tahun sudah dianggap sebagai bentuk kejahatan. Bahkan kejahatan kini dilakukan seorang anak, remaja terhadap orang sekitarnya. Ini semua karena anak –anak rutin dicekoki dengan tayangan-tayangan tidak mendidik. Waktu luang-pun dimanfatkan untuk melakukan hobi tidak berguna ini, seperti kebebasan bergaul, tertarik ajang coba-coba seperti merokok, minuman keras, menghisap opium/ shabu-shabu hingga mengarah pada sex bebas.

Banyak kasus yang terjadi sekarang, anak umur 6 tahun melakukan kejahatan pidana/ perdata. Pertanyaannya bagaimana peran pendidikan, peran orang tua, peran pemerintah, peran hukum dalam menjawab problem ini? Untuk permasalahan ini satu kuncinya adalah cinta dan kasih seperti yang dikatakan Errich Fromm “Love is the answer of human problem / human existence. Dimana cinta sebagai jawaban dari semua persoalan hidup, cinta bersifat universal / menyeluruh.

Namun, soal cinta terkadang salah diartikan bahwa cinta selalu dimaknai sebagai perilaku seksual; salah satunya dengan pendekatan pacaran. Sungguh mencengangkan gaya pacaran anak sekarang. Penyaluran kebutuhan biologis tidak terbendung lagi, akibatnya kasus MBA, kasus abosi semakin merebak. Bergesernya definisi taboo menjadi hal biasa atau trend mulai menggema di seluruh penjuru daerah. Juga mind sight bergesar penting tidaknya arti virginitas mulai menjadi trend (“virgin gak gaul” ). Ditambah lagi dengan kencangnya media menawarkan tontonan / bacaan bersifat vulgar, erotis/ porno. Adopsi budaya kebebasan mengikis budaya timur yang penuh tata krama/ aturan.

Fenomena yang ada disadari atau tidak mengahantarkan apa yang dinamakan era yang meng-global. Protective apa yang seharusnya dilakukan lembaga executif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, orang tua, tokoh agama, masyarakat, generasi muda adalah membangun dan mempertahankan benteng keimanan dan ketakwaan. Kesabaran, istiqomah memberikan pemahaman, pengertian kepada remaja serta memberikan sanksi positif yang tegas atas segala bentuk pelanggaran yang dilakukan anak sebagai alat evaluasi/ intropeksi diri (baca; anak dan orangtua). Sanksi tersebut bisa berupa teguran, peringatan agar anak jera mengulang perbuatan itu, dan tidak bermaksud menakut-nakuti tapi memberikan tauladan (hikmah).

Pola asuh anak sejak kecil memang berpengaruh pada perkembangan jiwa & cara berfikir anak. Pada proses peralihan / pencarian jati diri dalam interaksi sosial (bergaul antar teman sebaya) menjadikan remaja sebagai bagian dari manusia. Komunikasi efektif menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keberlangsungan proses ini. Komunikasi bisa dipelajari melalui inti pendidikan yaitu pengenalan santun, dalam package moral and norma. Sehingga media pendidikan efektif adalah komunikasi dalam rasa, fikir, moral & agama. Jikalau cara yang dipih adalah menetapkan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi, hendaknya kita review terlebih dahulu semua aspek yang ada, pendidikan, pola asuh anak (psikologi), dan peran pihak terkait sebagai pengambil & pelaksana kebijakan hukum.
(Kini, Undang-undang yang mengatur mengenai pornografi disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008) (PAN,Yogyakarta, February 28th,2006)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun