Tulisan ini berdiri di atas sebuah kredo: Hukum memerlukan moralitas. Karena moralitas ialah alat keadaban manusia. Dari titik inilah kita harus merefleksikan secara prposional mengenai hukum yang seharusnya bersifat dan bertugas.Â
Berbicara mengenai teori tentang Moralitas hukum, termasuk dalam tulisan ini- tidak bisa tidak- harus beranjak dari asumsi antropologis tentang kebebasan yang dimiliki manusia. Hampir semua teori dan doktrin modern, percaya bahwa manusia secara kodrati menenteng kebebasan. Justru, bagi penulis hal ini menjadi misleading sebab berangkat dari konsepsi yang kurang tepat tentang manusia menenteng kebebasan secara mutlak yang seolah hampa nilai.Â
Manusia dianggap seperti seonggok materi - layaknya serigala berkaki dua yang hanya tunduk pada insting survive sehingga layak dibiarkan dalam logika hukum rimba. Kalaupun si mahkluk liar ini perlu ditertibkan agar tidak binasa, dalam solusi sangat klasik agama-agama samawi harusnya maka cukup dengan aturan-aturan yang sekeras mungkin agar takut dan taat. Dan inilah fungsi hukum yang dibutuhkan oleh manusia si mahkluk liar.Â
Hobbes sendiri mengatakan bahwa meski manusia memiliki kecenderungan liar dan ingin menguasai begitu kuat dalam diri seorang individu, namun manusia juga pada dasarnya takut mati dan butuh keselamatan. Oleh karena itu, manusia butuh kehadiran hukum. Kelangsungan manusia hanya mungkin, kalau berada dalam sosial yang tertib, yang dipandu oleh hukum yang jelas, tegas, dan tidak memihak.
Hukum itu sejatinya adalah moral. Fuller berbicara mengenai pandangannya mengenai sangkutan moral dan hukum bahwa suatu sistem hukum mempunyai suatu "Inner morality", moral yang ada dan sengaja dibangun dan dimasukkan ke dalam sistem hukum itu. Dengan moralitas. Lon L Fuller dalam buku nya yang berjudul "The Morality of Law"bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan moral, ia mengatakan bahwa "seburuk-buruknya penguasa akan merasa segan apabila mengumandangkan aturan yang tak bermoral." Lalu ia mempertanyakan "Bagaimana bisa datangnya rasa segan itu apabila hukum dan moral dipisahkan?"Â
Kita patut menduga, mudahnya orang mempermainkan hukum, bahkan aparat tidak malu-malu menjadi pelaku yang agresif, dan ini boleh jadi alasan salah satunya ialah wacara moral dihempaskan dari relung hukum. Tradisi hukum yang kita jalankan, lebih banyak berurusan dengan bahan-bahan hukum dan dijalankan secara teknikal.
Sejak awal masuk kelas hukum, calon sarjana hukum dipaksakan mengenal pasal-pasal hukum, dan dilatih merekonstruksi isu-isu yuridis atas dasar-dasar logika doktrin yang membetenginya. Tidak pernah diasah untuk merenungkan, mengapa sekian pasal-pasal itu ada, dimana posisi nilai manusia dalam pasal-pasal itu, dan apa yang harus dilakukan mansusia. sebagai manusia terhadap pasal-pasal hukum tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan itu, boleh saja dianggap filosofis. Namun harus perlu diingat bahwa sedari awal, Hukum ialah alat bagi manusia. Sebagai alat, ia bukan memiliki tujuan sendiri namun sebagai melayani manusia sebagai manusia, bukan melayani sekumpulan cacing. Ia melayani manusia yang memiliki hati nurani dan martabat. Bukan robot yang tidak memiliki nilai. Ini sejalan dengan pemikiran Kant yang ajarannya menjadi induk teori Kelsen (Seorang penganut Positivism) yang justru menekan pentingnya martabat manusia yang tidak bisa ditawar-tawar.
Coba bayangkan dari refleksi diatas, bahwa hukum sejatinya adalah untuk mengatur manusia yang sejatinya adalah mahkluk egois dan liar malahan tidak ada moralitas dalam palang-palang yang menghentikan manusia itu untuk menjadi manusia yang bermartabat. Ini dapat dipermisalkan bahwa hukum ialah sebuah pisau, pisau yang dapat digunakan manusia untuk melindungi diri, bisa digunakan untuk kebaikan atau pisau yang digunakan menyakiti dan membunuh seseorang. Bayangkan apa yang akan terjadi jika kita menghempaskan nilai moral dalam relung hukum. Inilah alasan mengapa hukum membutuhkan moralitas!
Meski tidak dapat merubah menjadi etika, namun manusia selalu mengharapkan kebaikan, kebahagiaan dan bernilai dari hukum. Meski tidak harus menjadi agama, manusia mengharapkan sesuatu yang mulia dari hukum, Meski tidak harus menjadi ideologi, manusia mengharapkan sesuatu yang ideal dari hukum. Inilah yang mesti menjadi roh dari hukum sebagai tatanan manusia.