OPINI: MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
PUTRI AGENG ANJANI, S.H.Â
13223000015
PENEMUAN HUKUM ADAT HAKIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM BARAT: STUDI KASUS PUTUSAN SENGKETA TANAH ADAT DI PENGADILAN NEGERI MUARA TEWEH Putusan Pengadilan Negeri Muara Teweh Nomor 03/Pdt.G/2014/PN.Mtw
POSISI KASUS
Common law adalah sumber hukum yang darinya hakim dapat menemukan hukum yang dapat diterapkan. Common law merupakan pengetahuan yang diperoleh dari alat berupa akal. Sebagaimana dijelaskan oleh Koesno dan Jojo Digoeno, hakim menggunakan penalaran deduktif dalam temuannya di common law. Esai ini berupaya mengeksplorasi bagaimana akal berperan dalam kesimpulan common law yang dicapai oleh hakim MA . Selain itu juga akan ditentukan apakah menggunakan penelitian perspektif permikiran hukum barat ini menguraikan peran hakim dalam penerapan hukum barat sebagai putusannya ketika membuat temuan common law. Menurut Marmata, dalam perspektif pemikiran hukum Barat, hukum adat adalah sesuatu yang keberadaannya dapat dibuktikan (secara positif) dan dapat diamati (Simarmata 2018: 473). Dalam sudut padang ideologi hukum Barat, bentuk-bentuk hukum adat dinyatakan dalam perkara-perkara dan putusan-putusan yang membuktikan adanya hukum adat (Simarmata 2018: 473). Majelis menyimpulkan bahwa tanah yang disengketakan adalah milik penggugat, diambil dari Eban pada tahun 2012 yang merupakan tanah adat berdasarkan kasus hukum MA. Mewakili bukti dokumenter, keterangan dan keterangan ahli; Keputusan MK Peraturan daerah. konsep hukum umum. Dan untuk mengajar. Perkara hukum yang dikutip majelis hakim adalah perkara MA RI Nomor 10/SIP/1983 tanggal 3 Mei 1983 dengan fokus pada "hanya penguasaan tanpa bukti tanah sengketa. "Perjanjian ini mempunyai dasar hukum karena tidak dapat dibuktikan bahwa pihak-pihak yang terlibat adalah pemilik barang."
Alat bukti yang menjadi dasar hukum hak penggugat untuk menguasai obyek sengketa merupakan berupa sebuah salinan surat bukti/pernyataan hak guna tanah adat tanggal 25 Oktober 1987 dengan atas nama Eban yang menguraikan terkait batas-batasnya. bangsa. Sungai Parau; salinan surat pernyataan pemberian tanah adat kepada wilayah Parau dari Eban yang diperuntukkan sebagai pemberi hibah kepada Yasaya Nyanya atau pemohon tertanggal 5 Juli 2008 yang menjelaskan batas-batas tanah adat yang diberikan di wilayah Sungai Parau; Sertifikat atas nama Abayani tanggal 20 Februari 2013; dan sertifikat hak guna tanah no. 17/DKA/LH/I/2013 tanggal 20 Februari 2013.
Kemudian, bukti surat tersebut diperkuat dengan keterangan saksi sehingga saat ini makam Eban masih berada di lokasi yang sama dengan makam Sulur oleh Tumenggung. Berdasarkan keterangan saksi, Eban memiliki sertifikat hak guna tanah dan stempel prosedur tertanggal 2005 terkait sengketa tersebut. Belakangan diketahui bahwa Eban telah menghibahkan tanah sengketa tersebut kepada penggugat. Saksi (Abayani) menjelaskan bahwa sebagai Demang Kecamatan Lahei membantu menyiapkan dan menandatangani sertifikat atas nama Abayani tanggal 20 Februari 2013 dan sertifikat tanah berdasarkan Peraturan No. 17/DKA/LH/I/2013 20 Februari 2013.
Majelis Hakim menyimpulkan bahwa peraturan negara dan pengakuan common law ada di Kalimantan Tengah. Pengaturan dan pengakuan negara tersebut tertuang dalam Putusan MK Â Nomor 35/PUU-X/2012 yang memutuskan bahwa pengelolaan hutan oleh negara selalu memperhatikan hak-hak masyarakat lokal berdasarkan hukum adat. Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Organisasi Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak Adat di Kalimantan Tengah. Di dalam nya mengakui secara jelas mengenai hak-hak tradisional disetiap daerah Kalimantan tengah.
Untuk menjelaskan hukum adat di bidang pertanahan, majelis hakim mengacu pada konsep bahwa hukum adat pertanahan merupakan perpaduan antara agama dan alam, dimulai dari sudut pandang masyarakat Indonesia dan mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hubungan antara individu dan masyarakat, negara selalu diutamakan. Untuk mendukung gagasan tersebut, sekelompok hakim ditahun 2014 merujuk pada teori Soepomo (dikutip dalam Soesangobeng 2003). Soepomo menjelaskan bahwa menurut hukum adat, masyarakat tidak terisolasi, bebas dari segala ikatan, atau hanya mementingkan kesejahteraannya sendiri, melainkan sebagai anggota. Dalam hukum adat, tanah dianggap sebagai benda spiritual yang tidak dapat dipisahkan dari hubungan antar manusia. Walaupun dunia dan manusia berbeda wujud dan identitasnya, namun mereka merupakan satu kesatuan yang utuh, dan saling mempengaruhi dalam skala besar (makrokosmos) dan skala kecil (mikrokosmos) dalam tatanan alam abadi (alam semesta). . Dunia mengacu pada segala sesuatu yang ada di bumi, berpusat di sekitar manusia, seperti air, udara, dan sumber daya alam, yang terhubung dengan roh-roh dunia yang tidak terlihat. Catatan bunuh diri Soepomo dirujuk juri dalam artikel Hermann Soesangoven (Soesangoven 2003).
Majelis Hakim sepakat bahwa hukum umum berlaku dalam perselisihan ini. Berdasarkan keterangan ahli bahwa hakikat hukum adat yang masih berlaku di wilayah Kalimantan Tengah keberadaan masyarakat Deman di wilayah tersebut, termasuk hak atas tanah. Secara terpisah, dalam upacara adat Ningal, ketika Salamander Energy (Bankanai) Ltd. (terdakwa saya) menyumbangkan dana untuk upacara adat Ningal kepada kurang lebih 200 juta jiwa, pihak adat tersebut ternyata masih mempengaruhi pokok permasalahan hukum. Rp 37.000.000,00 (Rp 30 juta). Menurut juri, masuknya RUU tentang ritual adat Ngaru menunjukkan bahwa para terdakwa secara terbuka mengakui bahwa hukum budaya yang berkaitan dengan pokok sengketa masih ada.