Helman mengeluhkan, meskipun difasilitasi berbagai pelatihan keterampilan seperti ini tidak semua napi yang berminat mengikutinya. "Kami hanya menjaring mereka yang berminat terhadap apa-apa yang kami fasilitasi disini, dan memang hanya beberapa yang mengikutinya. Maklum, kondisi psikologis masing-masing mereka itu berbeda-beda," tambah Helman. Terkadang Helman kelimpungan saat mengajari para napi. Sebab, daya nalar mereka yang rendah membuatnya harus mengulangi pelajaran hingga beberapa kali. "Harus diulang-ulangi sampai sepuluh kali mungkin baru paham. Tapi bagaimanalah, mereka ini sudah seperti anak-anak kita," ujar pria berkumis lebat ini.
Utamakan Pendidikan Anak
Terlepas dari status sebagai narapidana, mereka tetaplah anak-anak yang berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu pihak Lapas tidak menyampingkan masalah pendidikan. Mas'ut menimpali, pendidikan anak ini tertera di UU Pemasyarakatan No.12 tahun 1995 pasal 14 mengenai hak anak untuk memperoleh pendidikan. "Adalah amanat undang-undang mengenai pendidikan anak ini, namun kalau mereka yang ada disini tidak mau memanfaatkan, Kami pun tidak memaksakan," ujarnya.
Staf pengajar di lapas disediakan dengan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan (Diknas) Kota Medan dan juga bekerjasama dengan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Proses belajar mengajar dilakukan dari pada hari Senin-Kamis. Mas'ut mengakui ada beberapa mantan penghuni lapas yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan juga sekolah kedinasan. Namun dikatakan Mas'ut, tenaga pengajar yang ada di Lapas tidak hanya dari PKBM dan Diknas tetapi juga staf pengajar yang disediakan oleh Lapas sendiri.
Untuk formalitas pendidikan anak di lapas ini, Mas'ut mengatakan para napi mengejar ijazah paket A untuk SD, paket B untuk SMP, dan paket C untuk SMA. Materi yang didapat sama dengan sistem kejar paket yang ada di luar. Namun mereka yang mengejar paket hanya bagi mereka yang hukumannya lebih dari satu tahun. Ada juga napi yang masihg terdaftar disekolah mereka dan masih bisa mengikuti Ujian nasional (UN), tergantung kesepakatan pihak sekolah dengan lapas. "Salah satu contoh yang saya ingat waktu itu ada anak SMA, selama 2/3 masa tahanannya ia diberikan modul pembelajaran dari sekolahnya, setelah melewati 2/3 masa di lapas maka ia berhak kembali ke sekolah dengan catatan melapor tiap hari ke lapas," terang alumni Fakultas Ekonomi USU ini.
Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) yang merupakan bagian dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan juga sangat memperhatikan pendidikan napi anak selama di dalam lapas. Walaupun untuk sekolah formal, PUSPA tidak ikut berpartisipasi secara langsung namun dalam pelaksanaan pendidikan non-formal seperti keterampilan bekerja, pembinaan, ceramah, maupun sarana olahraga PUSPA ikut terjun langsung ke lapas. Terutama saat hari-hari besar seperti hari anak nasional. Sebab, sekalipun anak dipidana ia tetap harus mendapatkan haknya sebagai seorang anak. Yaitu, berupa pendidikan dan pembelajaran. Hal ini diungkapkan oleh Azmiati Zuliah, SH atau yang akrab dipanggil Emi selaku Koordinator PUSPA-PKPA. "Setidaknya anak-anak ini mendapatkan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) karena dia harus tetap belajar. Bagaimana kalau dia sudah putus sekolah, lantas apa tidak menyambung pendidikan lagi? Intinya hak dia sebagai anak harus tetap terpenuhi," ujarnya.
Emi juga menjelaskan hendaknya masyarakat diberi pemahaman bahwa napi anak ini juga memiliki kemampuan. Termasuk ujian paket yang mereka ikuti. "Sebenarnya ujian paket A, B, maupun C itu sama. Yang mengeluarkan juga sama-sama Depdiknas, jadi setara dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah formal. Karena ada peringatan juga buat instansi maupun perguruan tinggi yang tidak menerima anak-anak dengan sertifikat ujian paket ini."
Walaupun demikian, PUSPA tidak berharap anak-anak ini dipidana. Ada baiknya dilihat dulu dari tingkat kriminalitas yang ia perbuat. Kalau lebih banyak merugikan korban, lingkungan, negara maupun si anak sendiri bolehlah dipidana. Tapi jikalau kasus-kasus kecil seperti perkelahian ada baiknya dikembalikan ke orangtua saja untuk dibimbing. Setelah melalui proses musyawarah mufakat yang melibatkan tokoh agama, lingkungan maupun pelaku dan korban dahulu sebelumnya guna menuntaskan kasus yang terjadi. Sebab, kapasitas berlebihan di dalam lapas juga berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak.
Harus Sesuai Konsep
Bertindak sebagai Lembaga Permasyarakatan, sudah seharusnya lapas memasyarakatkan warga binaannya tersebut. Napi anak ini sejatinya tetaplah anak-anak yang pikirannya belum sempurna. Bisa jadi mereka melakukan kesalahan oleh karena ketidaktahuan, salah asuhan, ataupun emosi semata. "Oleh karena itu janganlah anak-anak ini dihukum. Sebab ketika anak dihukum ia merasa dilabeli dengan anak kriminal. Ketika ia sudah menganggap bahwa dirinya adalah penjahat maka secara psikologis ini akan menganggu konsep diri yang tengah ia bangun. Kalau fungsi dan konsep lapas dijalankan dengan benar itu akan berefek baik. Anak tidak akan mengulangi perbuatannya lagi," ujar Tarmidi M.Psi, Dosen Fakultas Psikologi USU.
Tarmidi juga menjelaskan anak-anak ini boleh saja dipenjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Tapi jangan sebagai proses hukum melainkan sebagai proses pembinaan. Sudah cukuplah napi anak ini memperoleh pendidikan keterampilan saja, sehingga ketika keluar dari lapas nantinya ia bisa menjadi seorang wirausahawan atau bekerja. Kalau untuk pelaksanaan sekolah formal, sudah pasti tidak kondusif.