Mohon tunggu...
Putri Ardiyanti
Putri Ardiyanti Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa baru yang mencoba membiasakan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Kepemimpinan terhadap Dinamika Konflik Sosial Anggota dalam Perusahaan

29 Maret 2024   19:22 Diperbarui: 29 Maret 2024   19:31 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis: Putri Ardiyanti

NIM: 1405623022

     Organisasi pada umumnya terdiri dari sekumpulan individu dengan latar belakang dan karakter berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Jika didefinisikan, organisasi adalah sekumpulan manusia yang melakukan suatu bentuk kerja sama dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan merupakan wadah atau tempat kerja sama yang digerakkan oleh manusia (Muspawi, 2014). Perusahaan merupakan suatu organisasi yang dibentuk untuk berbagai kepentingan, khususnya dalam ranah bisnis. Perusahaan melibatkan suatu sistem manajemen yang berfungsi untuk mengatur segala aktivitas operasional, termasuk dengan Sumber Daya Manusia (SDM) di dalamnya. Hal itu dimaksudkan untuk menata pengelolaan SDM perusahaan agar berjalan sesuai dengan tanggung-jawab dan tujuan perusahaan. Sama halnya dengan organisasi pada umumnya, suatu perusahaan pasti terdiri dari beragam interaksi antar anggotanya sehingga berpotensi menimbulkan konflik.

     Keberadaan konflik dalam suatu organisasi, khususnya perusahaan pasti tidak dapat dihindarkan. Hal itu dikarenakan konflik mengacu pada pertentangan yang terjadi akibat adanya perbedaan harapan oleh antar individu dan organisasi (Muwdamien, 2020). Selain itu, konflik juga disebabkan oleh adanya perselisihan dalam proses komunikasi sehingga timbul salah paham antara pembicara dalam menyampaikan pesan atau informasi. Konflik pada umumnya timbul dari masing-masing individu yang memiliki pandangan dan karakter berbeda-beda sehingga terkadang menyebabkan pertentangan. Selanjutnya, konflik tersebut berkembang menjadi konflik sosial antar anggota perusahaan. Konflik dapat terjadi antara sesama karyawan atau anggota hingga antara atasan dan bawahan serta antar divisi terkait dengan pekerjaan. Berdasarkan hal itu, maka diperlukan peran kepemimpinan dalam organisasi atau perusahaan untuk meredakan konflik sosial antar anggota (Peramesti & Kusmana, 2018). Kepemimpinan berperan besar dalam mempengaruhi moral anggota organisasi melalui kebijakan, teladan dan sikap yang dapat diterapkan untuk mengatasi konflik sosial.

     Konflik dalam organisasi pada umumnya disebabkan oleh adanya perbedaan dan pertentangan, baik yang berasal dari masing-masing individu (aspek internal) maupun yang berasal dari lingkungan sekitar (aspek eksternal). Konflik antar individu dan kelompok, yang berhubungan dengan cara individu menanggapi tekanan untuk keseragaman yang dipaksakan oleh kelompok kerja mereka. Sebagai contoh, seorang anggota atau karyawan mungkin dihukum atau diasingkan oleh kelompok kerjanya karena melanggar norma-norma kelompok (Muqdamien, 2020). Konflik sosial antar anggota dalam organisasi yang sama juga dapat disebabkan oleh adanya pertentangan kepentingan antar individu maupun kelompok. Robbins (2003) dalam Dalimunthe (2016) mengungkapkan bahwa konflik sosial anggota dapat terjadi melalui lima tahapan. Pertama, oposisi atau ketidakcocokan potensial. Tahap ini ditandai dengan kemunculan sumber masalah atau konflik yang terbagi menjadi tiga kategori, yaitu struktur, komunikasi dan variabel pribadi. Kedua, kognisi dan personalisasi muncul pada masing-masing anggota yang berpotensi terlibat dalam konflik. Ketiga, timbul maksud untuk menangani konflik melalui persaingan, kolaborasi, penghindaran dan akomodasi. Keempat, perilaku konflik yang muncul secara terbuka, seperti ucapan kasar dan konfrontasi. Kelima, hasil yang menyebabkan konsekuensi setelah terjadinya konflik.

     Dinamika konflik sosial anggota dalam perusahaan juga dapat bersumber dari aktivitas komunikasi organisasi yang tidak berjalan efektif. Hal ini disebabkan oleh adanya proses pertukaran informasi dan interaksi antar anggota perusahaan yang dapat menimbulkan gesekan atau konflik sosial. Selanjutnya, Muqdamien (2020) menyebutkan bahwa konflik sosial anggota dalam perusahaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti rendahnya formalisasi, perbedaan kriteria, keanekaragaman anggota dan distorsi komunikasi. Aspek rendahnya formalisasi mengacu pada lemahnya peran peraturan dan kebijakan organisasi di dalam perusahaan sehingga mengaburkan batas-batas perilaku. Aspek perbedaan kriteria mengarah pada perbedaan preferensi pada masing-masing anggota terhadap sistem perusahaan. Selanjutnya, keragaman anggota perusahaan yang terdiri dari berbagai sifat, watak dan preferensi juga dapat menimbulkan konflik sosial. Aspek terakhir adalah distorsi komunikasi yang mengakibatkan kesalahpahaman.

     Secara umum, kepemimpinan adalah sebuah kemampuan dalam diri seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau mengarahkan pihak tertentu untuk mencapai tujuan (Permesti & Kusmana, 2018). Dari penjelasan kepemimpinan diatas bisa dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan suatu cara yang dimilki seorang pemimpin yang menunjukkan suatu sikap yang menjadi ciri khas tertentu untuk mempengaruhi karyawannya dalam mencapai tujuan organisasi. Selanjutnya, kepemimpinan juga bisa didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengelola dan mengarahkan sebuah kelompok dengan efektif dan efisien agar mencapai tujuan.

      Peran kepemimpinan oleh pemimpin (pimpinan, kepala divisi atau ketua tim dalam perusahaan) dikatakan efektif apabila mampu memimpin dengan memberikan motivasi kepada bawahannya agar melakukan kinerja yang baik dan selaras dengan visi-misi serta tujuan organisasi. Kepemimpinan yang efektif memungkinkan kondisi dimana anggota atau karyawan dapat mengikuti instruksi pimpinan tanpa adanya paksaan (sadar diri). Pada level ini, pemimpin telah mendapatkan kepercayaan penuh dari karyawan dan mampu menjadi role model yang baik dalam memimpin (Ambarwati & Raharjo, 2018). Akibatnya, konflik sosial dalam perusahaan akan lebih mudah diselesaikan karena kendali penuh pemimpin. Seorang pemimpin yang telah dipercaya oleh anggota akan dinilai sebagai teladan yang dianggap lebih bijak dalam mengambil keputusan, khususnya untuk menyelesaikan konflik sosial antar anggota atau karyawan perusahaan.

      Kepemimpinan yang efektif akan memperoleh dukungan penuh, baik oleh bawahan maupun partner kerjanya karena dinilai telah amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin (Permesti & Kusmana, 2018). Selain itu, pemimpin yang efektif juga dapat tercermin dari pengambilan keputusan-keputusan yang bijaksana dan berdampak positif terhadap organisasi. Dalam menjalankan tanggung jawabnya, pemimpin yang baik mampu melakukan komunikasi organisasi yang fleksibel dalam mengontrol bawahannya sehingga mau menjalankan instruksi penyelesaian konflik sosial yang diberikan. Misalnya, saat terjadi pertikaian antar anggota karyawan terkait perbedaan pendapat dalam pekerjaan, pemimpin dapat menerapkan komunikasi organisasi untuk memberikan pemahaman dan alternatif solusi kepada pihak-pihak yang terlibat.

     Konflik sosial anggota dalam perusahaan secara garis besar dapat ditanggapi dengan dua cara, yaitu menghindari konflik dan menyelesaikan konflik. Proses untuk menghindari konflik pada umumnya dilakukan dalam bentuk pencegahan sebelum konflik terjadi (Tumengkol, 2017). Jika dikaitkan dengan aspek kepemimpinan, terdapat peran penting pemimpin untuk menyusun kebijakan dan peraturan agar dapat mendorong aktivitas organisasi secara efektif. Melalui kepemimpinan, seorang pemimpin perusahaan dapat melakukan doktrin kepada anggota agar menaati peraturan sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik antar anggota yang akan menimbulkan konsekuensi. Seorang pemimpin juga perlu menjadi teladan dan memberikan contoh yang baik kepada anggota, seperti menciptakan kerukunan dan toleransi agar mampu mencegah konflik.

     Selanjutnya, apabila konflik telah terjadi maka tanggapan yang paling tepat adalah berupaya menyelesaikan konflik. Menurut Handoko (1984) dalam Tumengkol (2017) pemimpin organisasi dapat melakukan beberapa opsi penyelesaian konflik sosial. Pertama, memanfaatkan kekuasaan untuk mengadili anggota yang sedang terlibat konflik. Hal ini berkaitan dengan penentuan antara pihak yang dinilai salah dan pihak yang dinilai benar berdasarkan penilaian pemimpin, termasuk dalam penetapan konsekuensi serta solusi terhadap konflik. Kedua, melibatkan persetujuan semua pihak. Pemimpin dapat mengadakan diskusi atau rapat untuk menghasilkan titik terang dan alternatif penyelesaian konflik secara kolektif dengan melibatkan semua pihak di perusahaan. Ketiga, penyelesaian melalui kompromi karena terkadang suatu konflik sosial anggota tidak selalu menghasilkan win-win solution, melainkan perlu mengorbankan salah satu pihak untuk berkompromi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun