Mohon tunggu...
Putri Beny Mawarsih
Putri Beny Mawarsih Mohon Tunggu... Lainnya - Beban keluarga

Manusia yang menyukai 3K. Kucing, Kaktus, Kuota.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Are You Okay?

18 Januari 2021   23:52 Diperbarui: 2 Februari 2021   00:32 1299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perasaan manusia diibaratkan seperti laut. Tidak ada yang mengetahui seberapa dalam dan seberapa curam isi didalamnya. Perasaan manusia juga diibaratkan sebagai labirin. Penuh dengan kerumitan untuk mencari jalan keluar. Perasaan manusia seperti sebuah puzzle yang sulit dipecahkan. Jangankan orang lain, terkadang si pemilik perasaan pun juga masih kebingungan dengan apa yang dirasakan.

Padahal perasaan manusia memiliki peran penting di dalam kehidupan. Seringkali dijumpai bahwa perasaan mempunyai kendali atas perbuatan manusia. Seseorang dengan perasaan positif maka akan melakukan kegiatan-kegiatan positif. Begitu pula sebaliknya. Perasaan seseorang juga mempunyai andil dalam kesehatan, khususnya kesehatan mental dari orang tersebut.

Tolak ukur kesehatan mental seseorang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Berbeda dengan kesehatan fisik, seseorang yang terlihat lesu, berwajah pucat, atau demam, dapat dengan mudah diindikasi sedang sakit. Untuk mengetahui sehat atau tidaknya, baik atau buruknya mental seseorang diperlukan pengamatan dan komunikasi secara berkelanjutan. Penanganannya pun juga berbeda.

Kesehatan mental memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan kesehatan fisik. Namun manusia seringkali mengabaikan kesehatan mental diri sendiri maupun orang lain. Hal ini dapat disebabkan karena masih awamnya pengetahuan tentang kesehatan mental. Mental seseorang dapat mempengaruhi bagaimana orang tersebut menjalani kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, sangatlah penting untuk mempelajari tentang kesehatan mental. Apalagi di era serba digital seperti sekarang, akses untuk belajar semakin dimudahkan.

Berbicara mengenai kesehatan mental, ada suatu gangguan mental yang sering dijumpai, yaitu mental breakdown. Kondisi ini dapat dialami oleh siapapun. Tidak memandang usia, gender, status sosial, pekerjaan, atau tingkat pendidikan. Asalkan dia manusia, maka akan berpotensi untuk mengalami hal tersebut. Penyebabnya pun berbeda beda, bisa disebabkan dari kekecewaan, kehilangan, keputusasaan, kegagalan, atau yang lainnya. Kondisi ini dapat mempengaruhi aktivitas sehari hari dan kesehatan tubuh jika dibiarkan terlalu lama. Tidak ada jaminan berapa lama waku yang dibutuhkan untuk melewati kondisi ini.

Perlu digarisbawahi bahwa terkadang seseorang yang mengalami mental breakdown seringkali tidak menyadari bahwa mereka sedang berada di fase tersebut. Kesedihan berkelanjutan dianggap sebagai hal yang wajar ketika menghadapi sebuah kekecewaan. Mewajarkan segala hal bukanlah tindakan yang tepat. Memang benar jika seseorang pasti akan mengalami kesedihan, namun perlu diperhatikan kembali kesedihan seperti apa yang sedang dialami.

Peran orang-orang di sekitar sangat diperlukan. Mulai dari hal sederhana seperti menanyakan, "Are you okay?" atau memberinya ruang untuk bercerita. Hal-hal sederhana sangat bermanfaat untuk membantu orang lain melewati fase mental breakdown. Jika dirasa kondisi yang dialami semakin memburuk, alangkah baiknya jika segera menghubungi tenaga profesional. Baik psikolog atau psikiater.

Hal yang masih disayangkan di kalangan masyarakat adalah adanya stigma bahwa seseorang yang kondisi mentalnya tidak baik akan dilabeli sebagai "orang gila". Stigma ini perlu diubah. Kesehatan mental layaknya kesehatan fisik. Jika fisik kita terasa sakit maka kita disarankan untuk berobat ke dokter. Begitu juga dengan kesehatan mental. Penanganan profesional dapat membantu proses penyembuhan.

Perlu diingat juga bahwa kondisi mental setiap individu tidak dapat disamaratakan. Masalah yang dihadapi pun tidak dapat disepelekan. Seringkali manusia menyelepekan masalah orang lain dan membandingkan dengan masalahnya sendiri tanpa melihat terlebih dahulu bagaimana kondisi mental dari orang tersebut. Seseorang yang sedang mengalami kondisi sulit sebenarnya membutuhkan kita untuk membantunya.

Bantuan tidak selalu harus tentang materi. Dengan kita disampingnya, menemaninya melewati masalah juga terhitung sebagai bantuan. Menyempatkan waktu untuk sekadar menanyakan kondisinya, mempersilakannya untuk mengungkapkan apa saja yang ada di pikiran. Hal-hal seperti itu yang justru dapat menjadi penguat seseorang agar tidak menyerah.

Bedakan antara meluangkan waktu untuk menanyakan kabar dengan menanyakan kabar di kala waktu luang. Dua hal tersebut jelas berbeda. Ada hal termahal di dunia ini melebihi uang yaitu waktu. Jadi, yuk perhatikan orang-orang di sekitar kita. Hidup tidak selalu berputar tentang diri sendiri. 

Peduli dengan orang lain merupakan salah satu bentuk memanusiakan manusia. Tidak butuh waktu banyak untuk menunjukkan rasa peduli. Sekarang ambil ponsel lalu buka apikasi WhatsApp ketik nama seseorang yang kamu kenal. Lalu tulis, "Are you okay?" dan kirimkan. Sederhana bukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun