Pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Meski begitu, di daerah 3T seperti ditempat saya mengabdi pendidikanmerupakan hal yang istimewa dengan segala keterbatasannya. Sebagai guru tentunya saya mencari berbagai solusi agar anak-anak tetap dapat belajar dengan baik. Salah satu praktik pembelajaran yang saya lakukan adalah dengan pembelajaran kontekstual yakni menghubungkan materi dengan kehidupan sehari-hari atau kearifan lokal. Salah satu praktik baik saya adalah pada materi "product label" di kelas IX.
Situasi:
Pendidikan di daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal) seperti Desa Paring Raya, Kabupaten Seruyan, sering kali berhadapan dengan berbagai keterbatasan. Terbatasnya akses internet, minimnya infrastruktur listrik, dan tantangan geografis adalah bagian dari keseharian kami. Namun, di balik semua itu, saya, sebagai guru Bahasa Inggris di SMPN Satu Atap 3 Hanau, melihat peluang besar untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna dan relevan bagi siswa.
Sebagai bagian dari kurikulum, saya menggabungkan pelajaran Bahasa Inggris dengan proyek berbasis konteks lokal yang disebut "Product Label". Proyek ini meminta siswa untuk merancang label produk lokal seperti gula aren dan ikan asin, yang menjadi hasil unggulan desa mereka. Dengan pendekatan ini, pembelajaran tidak hanya berfokus pada kemampuan bahasa, tetapi juga merangkul kreativitas, literasi digital, dan kebanggaan terhadap potensi lokal.
Tantangan:
Meskipun antusiasme sudah ada, tidak bisa dipungkiri bahwa kami menghadapi tantangan besar, terutama terkait fasilitas. Listrik yang hanya mengandalkan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dan koneksi internet yang tidak stabil menjadi hambatan utama. Kami memang memiliki perangkat seperti Chromebook dan proyektor hasil bantuan, tetapi penggunaannya sangat terbatas. Selain itu, siswa kami yang berjumlah kecil (15 siswa) masih sangat pemalu dan kurang percaya diri dalam berbicara di depan umum, yang memperlambat perkembangan keterampilan komunikasi mereka.
Aksi:
Menghadapi keterbatasan ini, saya tetap berusaha untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna dengan memanfaatkan apa yang kami miliki. Dengan dukungan WiFi dari BAKTI Kominfo, kami bisa mengakses Canva, sebuah aplikasi desain online, untuk membantu siswa dalam merancang label produk mereka. Kami memulainya dengan mengenalkan unsur-unsur penting dari sebuah label produk, seperti desain visual, informasi produk, dan cara menarik perhatian konsumen.
Melalui tugas ini, saya mencoba menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, di mana siswa dengan kemampuan beragam bisa berpartisipasi sesuai potensi mereka. Siswa yang lebih unggul dalam aspek visual, berfokus pada desain grafis, sementara siswa yang lebih tertarik pada teks, lebih banyak berkontribusi dalam menulis keterangan produk. Kami juga mengadakan sesi presentasi agar mereka lebih percaya diri dalam mempresentasikan hasil kerja di depan teman-teman mereka.
Penggunaan teknologi meskipun terbatas, memberikan mereka pengalaman baru yang tidak pernah mereka dapatkan sebelumnya. Chromebook yang ada menjadi jendela bagi mereka untuk mengenal dunia digital lebih luas. Di balik keterbatasan listrik, saya memastikan bahwa waktu belajar dengan teknologi dimaksimalkan secara efisien.
Refleksi:
Proyek ini memberikan saya banyak pembelajaran, baik sebagai guru maupun sebagai bagian dari komunitas sekolah. Melalui pengalaman ini, saya menyadari bahwa pendidikan berbasis proyek yang terhubung dengan konteks lokal mampu meningkatkan motivasi dan kebanggaan siswa. Siswa saya tidak hanya belajar tentang label produk dalam bahasa Inggris, tetapi juga merasakan langsung bagaimana pendidikan bisa memberikan manfaat nyata bagi kehidupan mereka.
Salah satu dampak paling berharga adalah tumbuhnya rasa bangga mereka terhadap produk lokal desa mereka. Ketika mereka melihat label yang mereka buat bisa membantu mempromosikan produk gula aren dan ikan asin, ada rasa percaya diri yang tumbuh. Mereka mulai melihat bahwa pendidikan bukan hanya tentang teori di kelas, tetapi tentang sesuatu yang lebih nyata dan relevan.
Namun, saya juga tidak bisa menutup mata terhadap tantangan infrastruktur. Keterbatasan listrik dan akses internet menjadi pengingat bahwa kami masih membutuhkan solusi yang lebih baik agar pembelajaran berbasis teknologi bisa dilakukan secara optimal. Saya berharap, ke depan, dukungan infrastruktur bisa lebih memadai untuk mendukung pembelajaran inovatif seperti ini.
Sebagai guru, pengalaman ini menegaskan betapa pentingnya fleksibilitas dalam mengajar, terutama di daerah dengan tantangan besar. Saya harus terus beradaptasi dengan kondisi lokal dan memaksimalkan potensi yang ada, sekaligus memahami bahwa proses belajar membutuhkan waktu dan pendampingan yang konsisten.
Meskipun hasil dari proyek ini belum sempurna, saya sangat bangga dengan perkembangan siswa saya. Mereka mulai memahami pentingnya label produk, belajar berkolaborasi, dan mulai berani menampilkan karya mereka di depan umum. Pengalaman ini menjadi bukti bahwa pendidikan yang relevan dan terhubung dengan konteks lokal dapat membawa perubahan besar, bahkan di tempat yang terpencil sekalipun.
Kesimpulan:
Proyek "Product Label" di SMPN Satu Atap 3 Hanau adalah bukti bahwa pendidikan di daerah 3T, meski penuh tantangan, memiliki potensi besar untuk mengubah cara pandang siswa terhadap pendidikan. Dengan sentuhan kreativitas dan relevansi lokal, siswa bisa merasakan sendiri manfaat dari apa yang mereka pelajari. Dengan dukungan teknologi yang lebih baik di masa depan, saya yakin proyek-proyek seperti ini akan terus berkembang dan memberi dampak positif yang lebih besar lagi.
Semoga pengalaman ini dapat menginspirasi rekan-rekan guru lainnya untuk terus berinovasi dalam menciptakan pembelajaran yang tidak hanya menarik, tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H