Mohon tunggu...
Puteri Renata
Puteri Renata Mohon Tunggu... Editor - Mpudh

Founder Komunitas Sahabat Literasi/Direktur SL Books/Mentor Kepenulisan Self Healing/Penulis Novel

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Aroma Kereta Berbeda Setiap Waktunya

22 Oktober 2024   21:40 Diperbarui: 23 Oktober 2024   03:08 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/abdumalikh44

Pagi di tahun 90-an, aku yang merupakan anak perantauan pulau jawa bersama kedua orangtuaku berencana naik kereta untuk mudik ke kampung halaman di Palembang. Perjalanan dari Cilegon menuju Palembang itu tidak sebentar, bahkan untuk sampai ke stasiun kereta di Tanjung Karang pun kami harus melewati jarak yang luar biasa karena saat itu belum ada jalan tol.

Aku masa itu masih berstatus anak-anak, masih sekolah kelas 4 SD. Sebagai anak tunggal, pulang ke kampung halaman saat hari raya lebih menyenangkan ketimbang harus merayakan lebaran di kota baja yang sepi karena rata-rata perantauan mudik juga.

"Pa, keretanya yang mana.." tanyaku dengan antusias saat berada di stasiun yang sangat ramai. Perdana berangkat kami naik kereta Fajar Utama. Papa dengan sigap memesan tiket dan beberapa jam kemudian kereta kami pun berangkat. Sungguh indah mengingatnya. Aroma kebahagiaan para pemudik terpancar di sana walaupun kelelahan sungguh terasa. Aku sangat lelah karena dari Cilegon naik angkutan umum menuju Merak, saat itu macet dan aku berjalan kaki bersama kedua orangtuaku juga banyak pemudik lainnya melakukan hal yang sama seperti kami. Lalu, di kapal tak kalah ramai ditambah dengan perjalanan naik bus menuju Rajabasa dari Bakahueni dan naik angkutan umum lagi untuk bisa sampai di stasiun Tanjung Karang.

Kereta Fajar Utama lebih lumayan daripada kereta Kelas Ekonomi dan berangkatnya juga lebih dulu. Harga tiketnya berbeda sedikit sebenarnya. Namun, saat itu harga kereta Fajar Utama lumayan apalagi jika ada 3 orang seperti kami. Menikmati semeriwing angin dalam kereta sangat menyenangkan menurutku saat itu sambil membaca surat dari sahabatku yang rumahnya di sebelahku. Agak lebay sih ini, karena aku hanya pergi sebentar, tapi seakan meninggalkan dia selamanya. Bahkan, ada adegan menangis saat aku berangkat. 

Aroma dari toilet terkadang sampai ke hidungku terbawa angin karena pintunya tak tertutup dan kejorokan penumpang tidak menyiram bekas buang airnya. Suara pedagang asongan melewati kami dan menawarkan makanan yang saat itu banyak yang kubeli walau dipelototi oleh mama. Tiap stasiun pasti ada pedagang asongan yang naik ataupun turun. Kalau sudah sampai Prabumulih, kami disiagakan untuk menjaga barang-barang kami oleh petugas dan tukang nanas masuk menjajakan kesegaran buat aku yang tak pernah diperbolehkan membelinya (Sejak kecil dilarang makan nanas).

Ya, itulah pemandangan di kereta Fajar Utama. Aku merasakan juga saat gerbong kereta kami terbakar. Untungnya cepat diketahui sehingga kami akhirnya pindah gerbong. Dan, terlihatlah gerbong yang tadi kami tempati ditinggal di sebuah stasiun. Pernah terjadi juga kereta kami menabrak orang yang membawa sepeda motor dan saat sampai di sebuah stasiun terlihatlah tubuhnya yang masih menempel di kereta dan dikeluarkan saat itu juga. Oh, ya bentuk tiket kereta saat itu unik terbuat dari kertas yang tebal bewarna hijau atau kuning untuk kereta Fajar Utama dan merah untuk kereta kelas Ekonomi.

Tahun 2000-an aku berencana mudik hanya berdua dengan mama. Saat itu aku sudah kuliah. Papa tidak bisa pulang karena tak mendapatkan cuti lebaran dan menyuruh kami untuk naik kereta eksekutif/kereta malam. Harga kereta eksekutif tidak murah bahkan lumayan mahal, tapi demi kenyamanan kalau menurut papa saat itu. Kereta itu berangkat malam pukul 21.00 dan sampai pukul 6 atau 7 pagi seharunya. Namun, saat menjelang lebaran jalannya lambat kemungkinan terlalu banyak tambahan gerbong dan berangkat lewat dari pukul 21.00 dan sampai pukul 9 atau 10 pagi. Lumayan, bukan?

Aku dan mama naik travel dari Bakahueni menuju Tanjung Karang dan ternyata mobil yang kami tumpangi lambat banyak mengantar penumpang. Kami sampai di stasiun dan tak kebagian tiket. Aku menelpon papa dengan wajah sedih dan papa bilang kami naik bus saja, mama berusaha mencari jalan dan akhirnya memilih mendapatkan tiket, tapi tak dapat tempat duduk. Kebanyang, kan?

Kami naik gerbong kereta tambahan, yaitu kereta Ekonomi. Harga tiket tetap eksekutif dan tak ada tempat duduk. Jadilah, aku dan mama duduk dekat toilet yang aromanya luar biasa. Angin berhembus dan menawarkan bau tak sedap. Aku pasrah sambil merasa menyesal apalagi mama terus-terusan menggerutu.

Seorang bapak-bapak memanggilku, "Dek, coba ke tengah. Itu ada tempat longgar. Cepetan.."

Aku segera menuju ke sana sambil mengajak mama dan alhamdulillah kami duduk di bawah tengah-tengah gerbong dengan penumpang lainnya. Dari jauh aku tersenyum dan berterima kasih kepada bapak itu yang masih berdiri bersama penumpang lainnya di dekat toilet. Beliau mengangguk dan tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun