Mohon tunggu...
Putri S. A.
Putri S. A. Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Menulis adalah hobi saya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Politik: Demokrasi Terkikis, Indonesiaku Menangis

3 Oktober 2021   07:05 Diperbarui: 3 Oktober 2021   07:08 8011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu itu masih sekitar pukul delapan malam. 

Aku berjalan kaki di sepanjang trotoar menuju warung Bakso Pak Udin yang terletak di persimpangan jalan, tak jauh dari rumahku. 

Kurasakan angin semilir berhembus, menelusup menembus tulang dan sukses menciptakan sensasi dingin yang tak terelakkan. Berbagai kendaraan pun kulihat berlalu lalang, suara serta sorot cahayanya saling beradu seolah menyombongkan kepemilikan masing-masing. Mungkin butuh waktu sekitar sepuluh menit, aku baru tiba di Warung Bakso yang menjadi tujuanku itu. 

Usai melakukan pesanan, aku melirik mencari tempat duduk selagi menunggu. Atensiku lantas terhenti tepat pada dua orang familiar yang ternyata sudah sampai lebih dulu dan sedang duduk. Mereka asik makan bakso, aku pun akhirnya memilih bergabung.

"Apa kabar?" Tanyaku memulai percakapan.

"Baik, sih. Kamu juga baik, kan?" Adimas bertanya balik. Aku mengangguk.

Sekedar informasi, aku dan kedua orang di hadapanku ini sebelumnya ada di satu SMA yang sama, bahkan satu kelas. Adimas yang menjawab pertanyaanku tadi adalah si bintang kelas dan dia cenderung sangat tertarik pada pembahasan politik. Setahuku, dia juga sekarang sedang sibuk kuliah, tepatnya di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan.

"Gimana kuliahmu?" Kali ini Raditya yang bertanya, cowok yang sejak tadi duduk bersampingan dengan Adimas itu terlihat menyeruput es tehnya.

"Ya gitu, pusing." Jawabku sekenanya. Raditya dan Adimas cuma ketawa kecil sebagai tanggapan. Bisa aku asumsikan bahwa mereka pun sedang menikmati kepusingan persis seperti yang sedang kualami saat ini. Tapi enggak masalah. Waktu akan terus berjalan, masa-masa sekarang sesungguhnya akan tetap terlewati juga.

"Teman-teman kuliahmu, gimana?" Kali ini aku yang bertanya.

"Seru, asik, pada kritis banget. Wajar, sih, udah pada dewasa juga, walau kadang masih ada aja yang egois." Adimas menjawab enteng sembari memakan baksonya. "Tapi ada sih satu momen yang menurutku paling seru."

Radit mengerutkan dahi, "Apa tuh?" 

"Waktu kelas, sempat ada bahasan tentang demokrasi di Indonesia, termasuk di dalamnya juga sempat dibahas tentang demokrasi dan politik uang, korupsi, pemilu, juga masih banyak lagi. Kita saling bertukar pikiran dan bahkan sempat sampai debat juga."

Mendengar penjelasan Adimas, tawaku pecah. "Kesukaan kamu dari dulu emang enggak pernah berubah, ya? Hobi banget sama yang namanya debat, apalagi kalau sudah menyangkut politik."

"Iya lah! Seru soalnya, hehe." Jawab Adimas, "Apalagi nih, kalau udah bahas demokrasi di Indonesia dan segala permasalahannya. Pokoknya seru banget, deh!"

"Tapi emang bener, sih. Aku setuju sama Adimas." Raditya menambahkan. "Aku juga selalu tertarik dengan pembahasan terkait hal itu. Apalagi, seperti apa yang udah kita tahu, bahwa negara kita ini masih jalan di tempat, masih jauh dari harapan terkonsolidasinya demokrasi. Masih banyak masyarakat yang enggak kritis terkait masalah politik, masih banyak warga yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hak asasi, terus juga masifnya politik uang dalam pemilu."

"Bener banget. Masih banyak problematika yang dialami negara kita sehingga menyebabkan demokrasi di Indonesia enggak berjalan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Parahnya, pesta demokrasi seolah-olah malah dijadikan jalan bagi siapapun untuk melakukan hal yang gila." Imbuh Adimas.

"Iya, sih." Aku mengangguk-angguk, secara sadar ikut menyetujui ujaran Adimas dan Raditya. "Kentara banget. Buktinya nih, persaingan calon anggota legislatif dalam mendapat suara aja masih ketat. Para calonnya terus berusaha kuat untuk dikenal di mata masyarakat. Parahnya, ada yang rela mengeluarkan banyak biaya selama masa kampanye. Masih mending kalau menang, lah kalau enggak? Duit abis karena dipakai buat modal, bikin pusing diri sendiri doang."

Raditya dan Adimas tertawa mendengar pendapatku. Bisa aku lihat, bakso mereka sudah habis dilahap. Tapi sepertinya mereka tak mau pulang dulu, terlalu asik membahas permasalahan demokrasi bersamaku sekarang.

"Kalau udah ngomongin demokrasi dan politik uang emang enggak akan ada abisnya. Itu tuh udah kayak peluru andalan dalam setiap pesta demokrasi. Enggak ada lagi yang namanya etika politik. Suara dalam pemilu aja lebih banyak didapat dari hasil money politik. Miris banget." Adimas menanggapi untuk kesekian kalinya.

"Benar. Padahal hal-hal yang kayak gitu tuh yang secara enggak sadar udah bikin masyarakat jadi kayak peminta-minta. Mereka diajari yang namanya suap. Dengan begitu, banyak juga masyarakat yang hilang kepercayaan pada calonnya, berujung golput."

Baik Adimas maupun Raditya mengangguk setuju akan ujaranku. Mereka tidak langsung menanggapi. Hening melanda untuk sepersekian detik. Suara berbagai kendaraan yang berlalu lalang masih terdengar nyaring di telinga. 

Aku melirik pada bapak-bapak yang duduk tak jauh dari tempatku sekarang. Kepulan asap rokok yang mereka ciptakan itu mengudara bersamaan dengan segala harapanku mengenai negeri yang jadi tempat kelahiraku ini. 

Tentang aku yang mungkin juga merasa putus asa terhadap para pejabat negeri.

"Kira-kira kapan ya pemilu bisa bersih?" Gumam Raditya, sukses membuyarkan lamunanku.

"Setelah rakyat enggak lagi jadi alat perangnya para penguasa, salah satunya." Jawab Adimas. Lelaki itu berbicara demikian sembari menyeruput es tehnya yang tinggal setengah gelas.

Saat itu, tukang bakso mengantar pesananku dan meletakkannya di meja. Aku mengucapkan terima kasih dan langsung melahap baksonya. 

"Ngomong-ngomong, kalian berdua enggak pulang sekarang?" Tanyaku.

"Nanti aja. Mau main-main dulu. Pusing di rumah terus." Jawab Radit enteng.

Aku mengangguk paham. "Oh iya, kamu enggak ada niatan jadi politikus, Mas?"

Adimas menggeleng mendengar pertanyaanku. "Enggak tertarik. Aku emang suka membahas politik, tapi bukan berarti aku mau jadi pejabat negara. Godaannya besar. Sistemnya udah terlanjur salah kaprah. Aku cuma pengen jadi guru aja, bikin cerdas anak bangsa dan membuka pandangan mereka terkait segala persoalan bangsa ini." 

"Widih, mantep. Semangat deh buat kamu!" Aku menepuk pelan bahu Adimas.

"Tapi ya, ngomong-ngomong nih, aku pernah dengar, katanya, semakin seseorang dewasa, maka jiwa idealisme yang dia punya akan semakin berkurang. Contoh, banyak orang yang dulunya suka menyuarakan isu-isu politik seperti menentang korupsi atau hal lainnya. Tapi ketika dia sudah jadi pejabat negara, dia juga malah ikut korupsi."

"Iya, Raditya bener. Aku suka heran deh, mereka itu kan udah dapat gaji, tapi kok masih bisa-bisanya sih nilep uang rakyat?"

"Ya namanya juga orang serakah. Rela melakukan apapun tanpa peduli apakah itu salah atau enggak. Yang terpenting kebutuhannya terpenuhi, masa bodo sama orang lain." Adimas tertawa.

Aku meringis.

"Makanya nih, kita sebagai warga negara Indonesia terutama generasi muda, harusnya sih enggak diam aja dan membiarkan para penguasa itu menginjak-injak rakyatnya. Kita harus terus bersuara melawan kesewenang-wenangan. Apalagi di zaman sekarang, banyak banget cara yang bisa kita lakukan. Misalnya, kita bisa bersuara melalui media. Bukankah itu juga masih berkaitan dengan demokrasi? Dimana rakyat boleh menyuarakan pendapatnya demi kebaikan negeri ini."

Aku sangat setuju dengan ucapan Raditya. Keterlibatan generasi muda memang sangat dibutuhkan dalam hal ini. Ini negeri kita, tempat kita hidup. Kita tak boleh membiarkan negeri kita dirusak oleh tangan-tangan yang kotor. 

Permasalahan-permasalahan itu tak bisa terus dibiarkan. Terutama juga korupsi, yang bisa saja membuat kepercayaan rakyat luntur dalam menentukan hak pilih.

"Udah malam, aku mau pulang. Baksoku juga udah abis." Ucapku setelah meneguk es teh yang aku pesan.

"Iya, hati-hati ya. Semangat juga kuliahnya." Kata Adimas.

Aku mengangguk, "Iya, kalian juga." Ucapku, lalu bangkit dari tempat duduk, melakukan pembayaran pada penjual bakso.

Selama perjalanan menuju rumah, otakku masih belum berhenti memikirkan perbincangan antara aku, Raditya, dan Adimas tadi. Aku tak menyangka bahwa pembahasan kami tadi akan sejauh itu. 

Apa yang dikatakan oleh Raditya dan Adimas benar. 

Aku setuju dengan mereka, bahwa demokrasi memang tak bisa menghasilkan apapun kalau awalnya saja sudah dirusak, dibuat cedera. Aku harap, negeri kelahiranku ini akan membaik. Tidak ada lagi pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya dan bersikap serakah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun