Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan dengan adanya society 5.0, di mana manusia akan lebih mudah menyelesaikan segala permasalahannya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang berbasis teknologi. Tujuan adanya society 5.0 adalah untuk menciptakan hidup yang nyaman bagi masyarakat. Dan, adanya society 5.0 diharapkan dapat menyeimbangkan peran masyarakat dengan teknologi yang tersedia. Namun, pada dasarnya beberapa dari mereka malah salah dalam mengartikannya. Mereka lebih menikmati teknologinya saja tanpa memperhatikan ilmu pengetahuannya.
Contoh kecil saja, budaya membaca. Akhir-akhir ini banyak mahasiswa, pelajar ataupun yang lainnya lebih suka mendowload buku online daripada sowan ke toko buku. Mereka lebih cenderung memilih membaca lewat android daripada duduk santai di perpustakaan. Hal ini saya tahu dari beberapa teman saya yang bekerja sebagai pustakawan di salah satu kota. Ketika saya bertanya "Banyak ta, Mbak, yang berkunjung ke perpustakaan setiap harinya?".Â
"Iya, lumayan sih, Mbak, daripada nggk ada yang datang sama sekali. Paling tiap hari rata-rata lima puluh sampai seratus pengunjung. Padahal, jika dipikir-pikir berapa jumlah mahasiswa di kota ini? Lebih dari sepuluh ribu kan, Mbak! Ya, tapi yang datang hanya itu-itu saja" jawabnya.
"Perpustakaan saat ini beda sama dulu, Mbak. Kalau dulu bisa ratusan lebih yang datang, sekarang mengalami kemrosotan yang signifikan. Padahal pemerintah sudah menyediakan fasilitas yang plus-plus, tapi masih saja pengunjung tidak mengindahkan fasilitas itu." Sambungnya.Â
Duh, Gusti, perkara membaca yang kemanfaatan-nya untuk dirinya sendiri saja sulit untuk mencintainya. Bagaimana jika itu kemanfaatan untuk orang lain? Bisakah mereka mencintainya pula? Sudah jangan dibayangkan, wk.Â
Kasus seperti itu saya jumpai lagi kemarin. Ketika saya berkunjung ke masjid Baitul Mu'minin. Selepas shalat netra saya tertuju pada sudut ruangan yang bertumpuk beberapa buku dan tidak tertata rapi. Di situ berdiri laki-laki paruh baya tengah membaca beberapa buku yang tersedia. Saya-pun tertarik untuk mendekati buku-buku yang berjejer tersebut. Â
Tangan saya tergerak untuk menggendong buku "English Grammar." Belum sampai saya membukanya. Tiba-tiba datang seorang laki-laki lebih muda dari laki-laki yang membaca buku tadi. Terjadilah percakapan yang terdengar jelas di telinga saya.Â
"Sendirian, Pak" tanya laki-laki yang barusan datang menghampirinya.Â
"Iya, Pak. Soalnya yang muda-muda lebih suka hp daripada baca buku." Jawabnya.
"Kok, cacak sing muda. Anak-anak mawon pirso hp, mpun kados kepanggih sekul (seperti melihat nasi). Njenengan dari mana, Pak?" Tanya laki-laki yang lebih mudah.
"Saya dari Surabaya. Mampir ke masjid untuk sholat dhuhur, kebetulan masih ada waktu satu jam untuk menuggu kereta datang dan saya sempatkan baca-baca di perpustakaan masjid ini."Â