Mohon tunggu...
Putri Rn
Putri Rn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Satu Tulungagung

Ketika aku memilih, lalu memintanya. Di situlah aku harus menerima segala resikonya, Kawan!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengikhlaskan Kepergian Di Tahun Dua Ribu Dua Puluh Dua

5 Desember 2022   23:17 Diperbarui: 6 Desember 2022   06:48 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indahnya pertemuan selalu berbanding lurus dengan pedihnya perpisahan. Jangan sesekali ingin menggengam erat. Jika pada akhirnya akan pergi tanpa syarat. Jangan pula kau sesali apa yang telah pergi darimu. Ingatlah, Kawan! Sahabat Umar Bin Khattab RA pernah berkata: "Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang akan menjadi takdirku tidak akan melewatkanku.

Mungkin sepenggal kata-kata itulah yang saat ini menjadi pegangan ku. Pertemuan singkat bagai kilat yang menyambar di angkasa, kini hanya menyisa puing-puing kenangan yang tak bisa ku lupakan. Dan tak ingin ku lupakan.

Tak lama memang kebersamaan kita di tempat itu. Di atas bukit yang katamu sangat dingin, saat pertama kali kakiku berpijak. Asal kau tau? Bagiku itu tak seberapa jika dibanding dengan sikapmu yang dingin padaku saat ini. Entah apa yang membuat kita semakin jauh bak langit dan bumi. Bukankah dulu kau selalu katakan padaku; "Jangan pernah menjauh dariku", "Jangan lukai aku sepertihalnya dia melukaiku", "Kamu ngk papa melukai aku, tapi jangan melukai dirimu sendiri."

Masih ingatkah, Kau? kata-kata yang selalu terucap dalam percakapan kita di malam itu? Malam di mana orang-orang terlelap dalam tidurnya. Tapi lain dengan kita yang melewati malam-malam itu dengan canda-tawa riang gembira. Sesekali kata rindu dengan mudahnya keluar dari masing-masing bibir. Mungkin inilah yang disebut cinta itu buta! Tak mengenal waktu dan tempat. Asal bahagia itulah yang ada dalam hati para pecinta. Bukankah seperti itu percakapan kita yang dikirim angin malam?

Baru beberapa hari kemaren aku merangkai diksi dalam selembar kertas. Kutuang bersamaan dengan turunnya air mata tuhan juga air mata kerinduan. Sengaja kusiapkan agar kau baca di hari bahagia mu. Hari di mana dirimu dilahirkan. Dan nantinya akan kukirim bersama kenangan yang bisa kau lihat secara nyata. 

Belum selesai aku merangkainya. Kudapati tulisan seseorang yang begitu menyayat hati. Akupun menaruh iba padanya, meski tak kukenal siapa dia. Yang jelas Dia pastilah orang hebat dan kuat. Bukan lemah dan cengeng seperti aku. 

Kau tau apa yang membuat hatiku semakin iba lagi? Tulisan itu. tulisan yang hampir sama yang pernah kau kirim untukku. Saat aku masih berada dalam dekap mu. Saat masih dalam bimbingan mu. Kau menyebutnya surat. Iya, surat. 

Aku tak pernah tau Dia mendapatkan surat itu dari mana. Yang jelas aku telah mengenalmu, begitupun bahasa aksara mu. Awalnya aku berpikir mungkin dia mendapatkan tulisan itu dari orang lain, bukan darimu. 

Tapi lambat laun, aku menyadari betapa komunikasi kita sudah tak seperti dulu lagi. Bahkan untuk sekedar say hello aja rasanya asing banget. Secepat itukah hatimu tertambat padanya? Jika memang benar, tak mengapa lah. Itu hakmu bukan? Siapa aku beraninya melarangmu bahagia bersamanya. 

Jika katamu "Cinta adalah sekolah tanpa mengenal kata lulus. Aku sebagai pecinta adalah murid. Sedang kau kekasih adalah guru" aku rasa memang benar adanya. Tapi asal kau tau? Selayaknya sekolah sudah tentu harus memenuhi dua komponen tersebut bukan? Bilamana salah satu darinya hilang apa ada namanya sekolah? Tak usah kujawab kau sudah tentu mengerti apa maksudku.

Ingatlah! Aku tak sama sekali manuai benci ataupun menyesali pertemuan kita. Sebab, denganmu aku tau. Bagaimana rasanya bangkit di atas segala keterpurukan yang menyebabkan derai mata. Yang kuharap hanya ikhlas serta ridhomu atas segala ilmu yang telah kau berikan kepadaku. Meski pada akhirnya aku hanya bisa melangitkan do'a atasmu tanpa menyapa lebih dekat. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Selayaknya murid yang menginginkan ridho seorang guru, sudah tentu ia akan senantiasa bertawasul padanya.

Bila suatu saat nanti diksi ini sampai padamu. Mengertilah, saat itu juga aku harap kau telah bahagia atas pilihanmu, begitu pula aku. Saat cinta kita takkan pernah bersatu. Akupun ikhlas. Dan berharap semoga cinta kita akan sampai pada orang yang tepat. Saling menyayangi bukan menyakiti. 

Terimakasih telah menjadi matahari. Meski pada akhirnya aku telah dibutakan oleh kilau sinar mu. Dan aku berfikir dalam kebutaanku kau selalu hadir dalam pagi dan siang ku. Walau aku hanya merasakan kehangatan tanpa melihatnya. Itu cukup membuatku bahagia. Do'aku untukmu: "Bahagia selalu, ya!".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun