[caption id="attachment_325567" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi Admin / Dok. Yustinus Slamet"][/caption]
Terlintas dengan jelas masa-masa itu
Belasan tahun yang lalu, aku masih teramat belia
Belum mampu mengartikan keadaan itu dengan bahasa yang bisa kupahami
Aku hanya mengingat, itu tidak menyenangkan bagiku
Aku ingin yang lebih saat itu
Mengertilah, aku masih cukup egois saat itu
Karena aku masih belia, teramat belia
Aku tidak ingin ditinggal walau sebentar
Jangan heran jika aku melompat dari jendela hanya untuk mengejarmu
Aku tertawa saat engkau menceritakannya kemarin
Aku ingin rambut panjang, tapi engkau melarangnya
Sebagai gantinya, engkau belikan aku topi dengan rambut cocangnya
Alangkah girangnya aku, walau sesungguhnya aku ingin yang asli
Kadang, kami bermain-main di atas lantai yang lapuk
Entahlah, dulu aku menyebutnya lantai
Sekarang aku baru tahu kalau itu namanya tanah bukan lantai
Sesekali aku ceroboh dan menumpahkan air
Engkau memarahiku karena rumah jadi becek
Aku juga gemar menulisi dinding
Dan aku juga baru tahu kalau itu lebih pantas disebut papan atau kayu
Aku mencuri sekotak kapur dari lemari dan mulai menulis
Mungkin itulah kenapa sekarang aku memiliki tulisan yang indah
Sambil membantu memasak aku mulai menulis jendela kayu yang lapuk itu
Bahkan, tak jarang aku menulis di udara
Aku baru sadar bahwa waktu itu engkau selalu geleng-geleng kepala melihat tingkahku
Aku lasak dan sangat aktif
Hingga engkau mengurungku di kamar sehabis makan siang agar aku tidur siang
Paginya aku sangat sulit dibangunkan
Walau sebenarnya aku sangat suka bersekolah
Engkau sering memarahiku di setiap pagi
Aku masih kelas 1 SD ketika aku nekat pergi ke rumah teman
Padahal aku belum paham betul alamat itu
Belum ada handphone saat itu
Engkau cemas dan panik mencariku
Hingga akhirnya engkau menemukanku di senja hari
Esoknya aku bangun telat lagi dan engkau marah lagi
Kembali terlintas kenangan itu
Aku tidak ingat persis usiaku saat itu
Mungkin saat itu aku baru menginjak usia belasan
Hanya ada aku dan adikku di rumah saat itu
Aku lupa yang lainnya kemana
Tiba-tiba hujan deras dan angin begitu kencangnya
Kami mulai ketakutan
Tetesan mulai tetesan mulai mengucur dari atap yang bolong
Akhirnya baskom ada di mana-mana menampung tetesan itu
Aku tersenyum menang
Aku mampu mengalahkan keadaan saat itu
Namun, seketika aku histeris dan menangis menjerit
Ketika selembar atap rumah diterbangkan angin
Hujan yang begitu lebat akhirnya memenuhi rumah dengan mudahnya
Dan aku pasrah hingga keadaan berubah
Sekarang, semua itu adalah kenangan
Yang tersimpan rapi dalam memoriku
Keadaan memang tidak banyak yang berubah
Sebuah gubuk kecil di sudut halaman sekolah itu masih setia
Tempatku berteduh setiap kali aku pulang
Peneduh dari setiap lelah dan penatku
Karena di dalam sana ada banyak sosok penuh cinta yang pernah merasakan pahit
Tapi kita berjanji akan mengubanhya kan?
Tinggal dengan atap bocor itu tidak menyenangkan
Dinding kayu yang lapuk itu juga menyedihkan
Aku harus merasakan angin malam yang menusuk dari sela-selanya
Aku telah tumbuh dewasa
Tapi bukan jadi pembangkang seperti dulu
Aku pemalu dan banyak diam
Tapi aku ingin menjadi wanita yang luar biasa
Dengan cita-cita mulia untuk bahagia
Aku ingin engkau mendapati bahwa putrimu telah tumbuh
Mampu mengatur diri dengan mandiri
Tahu bagaimana caranya berdandan dan memakai highheel
Tahu bagaimana mengoleskan lipstick dengan baik
Dan merawat rambutku yang pernah kuidamkan panjang dan lurus
Aku juga belajar memasak
Aku ingin engkau bangga pada aku
Yang telah banyak membuat keonaran di masa kecilku
Lihatlah, aku telah tumbuh
Dan tetap menjadi putrimu yang terkasih
Oleh: Putri Ratnaiskana Pandiangan, 7 Februari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H