Ketika saya mahasiswa, ada salah satu kompleks apartemen yang didominasi oleh mahasiswa Indonesia. Saya menyebutnya 'apartemen gaul', karena untuk tinggal di apartemen tersebut harus mempunyai budget yang besar. Mahasiswanya berasal dari berbagai universitas. Bobot kuliah merekapun beragam tergantung kualitas universitasnya dan program yang dipilih. Beberapa universitas luar negeri menerima murid ber GPA rendah dan program kuliahnya cenderung jauh lebih ringan. Mahasiswanya pun mempunyai waktu lebih banyak untuk bersosialisasi. Bagi mahasiswa yang bersekolah di sekolah ternama dan berkualitas baik, weekend harus dinikmati dengan semangkuk Indomie, kopi Indocafe dan tugas yang menumpuk.
Tinggal di lingkungan seperti ini menjadi suatu tantangan untuk si anak bila dia belum siap mental. Terkadang sulit untuk menolak ajakan kongkow kongkow, main games di apartemen teman atau pergi ke cafe di malam hari. Rasa kesepian dan rasa ingin berteman mengalahkan ketegaran hati untuk menyelesaikan tugas sekolah.
Parents, NOT Tourists
Seorang uztads berkata pada saya bahwa " anak anak kita masih menulis sejarah mereka". Seorang anak yang sempurna hari ini mungkin tidak selamanya sempurna. Bimbinglah mereka sebanyak mungkin.
Janganlah bangga hanya karena bisa mengirimkan anak bersekolah keluar negeri. Banggalah bila mereka bisa lulus tepat waktu dengan nilai yang baik dan kembali ke keluarga menjadi manusia yang lebih baik. Bila datang berkunjung, janganlah sightseeing dan shopping di jadikan tujuan utama. Jadwal berkunjung satu atau dua minggu jangan hanya di padati oleh city tour atau ke outlet. Orang tua dan anak perlu berbicara dari hati ke hati. Kesibukan yang tidak berkualitas menyebabkan orang tua gagal melihat perubahan pada anak.
Ketika mereka jauh dari keluarga, tantangan datang dari segala arah. Mulai dari penyesuaian bahasa, teman baru dan penyesuaian hidup mandiri. Mereka berusaha fit in disekolah di diluar sekolah. Banyak faktor baru yang mempengaruhi perkembangan mental mereka. Banyak sekali yang bisa kita amati ketika kita berkunjung; perubahan tingkah laku, tutur kata, cara berpakaian, cara belajar dan teman teman dilingkungan mereka. Pasanglah radar kita tajam tajam. Buatlah pesta kecil untuk anak dan teman temannya. Kenalilah teman di lingkungannya.
Kalimat penyesalan yang diutarakan teman saya adalah "Salah saya karena tidak sering berkunjung, menelepon pun saya jarang", ketika anaknya harus dropped out dari universitas dan terpaksa ditarik pulang ke Indonesia karena ketergantungan obat obatan yang sangat parah.
English for Second Language
Sebagian besar universitas mengharuskan mahasiswa asing untuk mengambil program bahasa inggris (ESL/English for Second Language). Menurut saya, keseriusan si anak untuk bersekolah diluar negeri dapat di nilai sejak program ESL dimulai. Umunya progam ESL berkisar 3 - 9 bulan. Bila dalam satu tahun mereka tidak lulus program ESL, ada kemungkinan mereka tidak serius belajar. Terkadang perlu memberikan peringatan" Lulus atau pulang".
Penulis adalah penerima beasiswa AusAid untuk undergraduate program (1994 - 1998). Saat ini sedang bekerja di dunia perbankan di Amerika Serikat, setelah menyelesaikan program S2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H