Dalam kerangka pemikiran Islam Sunni, Asy'ariyah dan Maturidiyah merupakan dua aliran teologis yang menjadi landasan utama dan merupakan pilar penting dalam memahami esensi dan ajaran agama. Keberagaman pemikiran dan pandangan teologis menjadi ciri khas Sunni, termasuk perbedaan signifikan antara Asy'ariyah dan Maturidiyah. Meskipun keduanya bertumpu pada pondasi yang sama, memahami perbedaan dan kesamaan keduanya penting untuk mendalami pemikiran keagamaan dalam Islam.
Pengertian Islam Sunni
Sunni merupakan salah satu dari dua mazhab utama dalam agama Islam, bersanding dengan Islam Syiah. Islam Sunni terbentuk setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Istilah "Sunni" berasal dari kata Arab "Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah" yang berarti "orang-orang yang mengikuti tradisi Nabi dan umat Islam yang bersatu". Aliran Sunni mengakui empat madzhab hukum yang utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) serta menghormati para khalifah yang dipilih secara adil dan sebagian besar mengikuti tradisi mayoritas umat Islam. Mereka mengutamakan hadis (tradisi yang berasal dari Nabi Muhammad) sebagai sumber hukum, selain Al-Qur'an. Sunni menganggap kepemimpinan umat Islam seharusnya didasarkan pada kelayakan dan kesepakatan umat, seraya mempertahankan persatuan umat Islam di bawah kepemimpinan agama yang diakui. Aliran ini menjadi mayoritas umat Muslim yang membentuk sekitar 85-90% dari total umat Muslim di dunia.
Sejarah Munculnya Asy'ariyah dan Maturidiyah
Asal usul aliran teologis Asy'ariyah bermula dari seorang yang bernama Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M). Al-Asy'ari awalnya adalah seorang Mu'tazilah, namun kemudian meninggalkan pandangan mereka setelah merasa ragu dan menemukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab oleh aliran tersebut. Ia memilih untuk mengembangkan paham baru yang berfokus pada kesempurnaan Allah, mengutamakan keyakinan atas akal, serta menegaskan bahwa wahyu harus menjadi penuntun utama dalam memahami kebenaran. Ajaran al-Asy'ari kemudian menjadi dasar bagi aliran Asy'ariyah yang menekankan bahwa beberapa konsep teologis tidak dapat dicapai melalui akal manusia semata, tetapi harus diterima melalui wahyu ilahi.
Sementara, aliran Maturidiyah berasal dari Abu Mansur al-Maturidi (853-944 M), seorang ulama Sunni yang hidup pada masa yang sama dengan al-Asy'ari. Al-Maturidi mengembangkan doktrin teologisnya sebagai respons terhadap pandangan Mu'tazilah yang menekankan pada rasionalitas yang kuat. Dia menyusun ajaran-ajaran teologisnya yang menekankan bahwa iman bukan hanya sekadar pemahaman rasional semata, tetapi juga mencakup keyakinan yang diberikan oleh wahyu. Al-Maturidi menegaskan bahwa akal dan wahyu harus saling mendukung, dan tidak bertentangan satu sama lain. Ajaran-ajarannya ini membentuk dasar dari aliran Maturidiyah, yang menjadi salah satu dari dua aliran utama dalam teologi Sunni, mengajarkan pentingnya keseimbangan antara akal dan wahyu dalam memahami kebenaran agama.
Kedua aliran ini muncul dalam konteks perselisihan teologis pada masa itu, yang mempengaruhi pemahaman umat Islam tentang konsep-konsep fundamental dalam agama, seperti sifat-sifat Allah, keberadaan, dan keterkaitannya dengan ciptaan-Nya. Perkembangan pemikiran ini menjadi tonggak penting dalam pengembangan doktrin Islam dan memberikan landasan bagi pemikiran teologis dan filosofis dalam Sunni.
Perbandingan Esensial
1. Pemahaman tentang Allah: Aliran Asy'ariyyah cenderung menekankan pada konsep "tanzih" (menjauhkan Allah dari sifat manusiawi) dan menggunakan ta'wil (penafsiran khusus) untuk menjelaskan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an. Sementara itu, Maturidiyyah cenderung menekankan pada interpretasi harfiah atas sifat-sifat Allah tanpa membutuhkan ta'wil, dengan mempertahankan kesederhanaan dalam pemahaman akan sifat-sifat itu sendiri.
2. Pandangan tentang Akal dan Wahyu: Asy'ariyah memegang bahwa akal manusia terbatas dan tidak dapat mencapai pemahaman penuh tentang hakikat Allah serta kebenaran agama tanpa wahyu. Di sisi lain, Maturidiyyah memperkuat posisi akal sebagai alat yang berguna untuk memahami sebagian besar kebenaran agama, meskipun tetap mengakui bahwa wahyu adalah sumber utama kebenaran.
3. Perspektif terhadap Qadar (Takdir): Asy'ariyah meyakini bahwa Allah memiliki kehendak bebas yang mutlak dalam menentukan segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia, yang tidak diatur oleh sebab dan akibat. Sebaliknya, Maturidiyyah memandang takdir sebagai hasil dari pengetahuan dan kehendak Allah yang sebelumnya mengetahui apa yang akan dilakukan manusia dan memberikan kebebasan pada mereka untuk memilih.