Mohon tunggu...
Putra Rama Febrian
Putra Rama Febrian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Jurnalistik. Saya adalah orang yang ingin terus belajar, terus berkembang, dan memanfaatkan keterampilan saya dalam hal-hal yang positif. Hobi saya bermusik dan olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjalanan Spiritual Tasawuf: Dari Definisi hingga Perkembangan dan Pemurnian Kontemporer

5 Desember 2023   00:50 Diperbarui: 24 Desember 2023   00:03 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, Pengertian Tasawuf.

Tasawuf adalah cabang spiritual Islam yang menekankan hubungan pribadi dengan Allah, peningkatan spiritualitas, dan pencarian kesempurnaan diri melalui disiplin batiniah seperti meditasi, introspeksi, dan pengendalian diri. Dilihat dari sudut pandang akademis, ia merupakan dimensi mistis atau esoteris Islam. Dari perspektif praktis, tasawuf merupakan upaya untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi dan mencapai cinta dan ketaatan yang lebih dalam kepada Allah. Tasawuf juga dapat dipandang sebagai upaya menghayati nilai-nilai etika, kesederhanaan, dan pengabdian kepada sesama dalam rangka mencapai kedekatan dengan Tuhan. 

Tasawuf memiliki berbagai interpretasi, yang memiliki akar pada konsep Ihsan, yaitu kebaikan transformatif dari individu kepada sesama, alam, lingkungan hidup, dan Allah SWT. Dalam pandangan ini, tasawuf bukan sekadar praktik spiritual, melainkan aktualisasi dari kesucian hati, keikhlasan, dan kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah. Ihsan menjadi landasan utama tasawuf, mengarahkan manusia untuk berbuat baik pada semua aspek kehidupan serta menjadikan hubungan dengan Allah sebagai fokus utama. Dalam inti tasawuf, terdapat kesepakatan bahwa menyucikan jiwa dari sifat-sifat tercela dan mendekatkan diri kepada Allah merupakan tujuan utama, sehingga kehadiran-Nya dirasakan secara sadar dalam kehidupan.

Kedua, Teori Asal Kata Tasawuf.

Terdapat enam teori mengenai asal-usul kata 'tasawuf'. Pertama, berasal dari kata 'safa'', yang merujuk pada kebersihan dan ketulusan jiwa. Kedua, dari 'saff', yang menggambarkan posisi para sufi di barisan pertama di hadapan Allah. Ketiga, 'tasawuf' sebagai 'safwah', menunjukkan mereka sebagai umat pilihan. Keempat, berasal dari 'suffah', merepresentasikan kesederhanaan dalam tempat duduk. Kelima, dari kosakata Yunani 'theoshopy', yang mengartikan kearifan Tuhan. Keenam, 'tasawuf' dari kata 'suf', yang melambangkan kelembutan seperti bulu domba. Dalam kompleksitasnya, setiap teori menawarkan pemahaman yang khas terhadap esensi tasawuf, meliputi konsep kebersihan jiwa, posisi spiritual, status, sederhana, hingga kearifan, serta kelembutan. Hal ini mencerminkan kedalaman makna yang melekat dalam tasawuf.

Teori asal kata tasawuf yang berasal dari kata "suf" merujuk pada wol atau pakaian wol yang digunakan oleh para pencari kebenaran spiritual. Ada juga kaitan dengan "safa", yang berarti "kebersihan" atau "kesucian", menyoroti pencarian kesucian batiniah. Keseluruhan teori ini menggambarkan konsep pencarian spiritual, kesederhanaan, dan kesucian dalam pemahaman tentang Tuhan. 

Ketiga, Tasawuf pada Masa Rasulullah SAW dan para Sahabat.

Pada masa Rasulullah dan para sahabat, walaupun istilah "tasawuf" belum dikenal, substansi dari tasawuf tercermin dalam kehidupan mereka. Meskipun kata "tasawuf" tidak tercantum dalam Al-Qur'an atau hadis, nilai-nilai seperti kesucian jiwa, kesederhanaan, keikhlasan beribadah, dan semangat mengharumkan Islam tercermin dalam kepribadian Rasulullah dan sahabat. Rasulullah adalah contoh utama dalam menjalankan Islam, baik dalam ibadah mahdah (yang berkaitan langsung dengan Allah) seperti salat, puasa, dan haji, maupun dalam ibadah gayru mahdah (muamalah sosial). Mereka memadukan kedua bentuk ibadah ini, menciptakan integrasi tasawuf dengan syariat, serta menciptakan keseimbangan lahir dan batin. Para sahabat juga mencontoh nilai-nilai ini, membangun kehidupan spiritual dengan tahajud, menjalankan ibadah dan muamalah dengan ihsan, ikhlas, dan khusyuk, serta menunjukkan kedermawanan dan kepedulian kepada kaum duafa, sebagaimana yang diungkapkan dalam Al-Qur'an (QS. Al-Insan [76]:8-11).

Pada masa Rasulullah dan para sahabat, kehidupan sufistik tercermin dalam sikap Ansar yang mengutamakan kepentingan Muhajirin di atas kepentingan mereka sendiri, sesuai dengan QS. Al-Hasyr [59]:9. Tasawuf yang diilhami oleh Rasulullah dan para sahabat juga menunjukkan tawazun, keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, serta tanggung jawab individu dan sosial. Hal ini ditegaskan dalam hadis yang memperlihatkan dua sahabat, 'Abd Allah bin 'Amr bin al-'Ash dan Usman bin Madh'un, yang cenderung ke arah kehidupan spiritual yang tidak sejalan dengan ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah. Beliau menekankan pentingnya keseimbangan, sebagai contoh hidupnya yang menempatkan lima dasar kepribadian Muslim: akidah benar, teladan yang baik, kecintaan pada ilmu, ketekunan beribadah, dan jihad dalam mewujudkan cita-cita. Rasulullah, sebagai figur utama, adalah Al-Qur'an hidup yang menggabungkan aspek pribadi dan sosial dalam ibadah dan muamalah, sambil memperhatikan penyucian jiwa, pengendalian diri, dan nilai-nilai tasawuf lainnya.

Keempat, Perkembangan Tasawuf.

Dapat dibagi ke dalam lima tahap, yaitu: 

1) Tahap al-zuhd (zuhud atau asketis) dan gerakan al-zuhd: Zuhud, dalam bahasa Arab, berarti sikap menolak keinginan duniawi atau ambisi terhadap materi. Ini merupakan sikap yang melihat dunia sebagai sesuatu yang sementara dan tak bermakna. Zuhud menolak pandangan bahwa kenikmatan dan keindahan dunia merupakan sesuatu yang hakiki, melainkan tipuan yang akan lenyap. Orang yang zuhud tidak terpaku pada harta atau benda material, sering dihubungkan dengan kesederhanaan dan kehidupan yang minim akan kekayaan materi.

2) Tahap tasawuf dengan orientasi, penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs), dan pendakian rohani dengan menempuh maqmt (tangga-tangga rohani) dan merasakan ahwal (suasana hati): Tasawuf, yang mulai berkembang pada akhir abad ke-2 Hijriah, beralih dari sekadar gerakan zuhud ke fokus penyucian jiwa dan kenaikan spiritual. Konsep tazkiyat al-nafs, penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela, menjadi inti dari praktik tasawuf. Ini diterapkan melalui ha, kha, jim: takhalli (pengosongan), tahalli (pengisian dengan sifat-sifat baik), dan tajalli (manifestasi spiritual). Tak ada pengisian tanpa pengosongan; keduanya saling melengkapi. Sementara itu, pendakian rohani tercermin dalam maqmt dan ahwal, di mana maqmt merujuk pada tangga-tangga spiritual dan perhentian dalam pencarian. Paradigma pendakian menekankan perjuangan menuju keberadaan yang lebih dekat dengan Allah melalui iman, ibadah, dan amal. Sementara paradigma perjalanan melihat hidup sebagai perjalanan spiritual menuju Allah, dengan salik sebagai mereka yang menempuh perjalanan ini.

3) Tahap penyatuan diri dengan Tuhan: Penyatuan diri sufi dengan Allah, terwujud melalui itihad dan hulul. Itihad, artinya penyatuan, adalah puncak pengalaman sufi saat merasakan fana (kehilangan diri) dan baka (bersama Allah). Abu Yazid al-Busthami mencapai itihad melalui perjuangan panjang melalui maqmt hingga merasakan fana dan baka. Namun, dalam pengalaman itihadnya, Abu Yazid mengeluarkan ungkapan yang bertentangan dengan akidah Islam yang disebut sebagai syatahat, ungkapan yang terasa asing dan tidak masuk akal. Sementara itu, hulul adalah pengalaman sufi yang merasakan kedekatan, persahabatan, pengenalan, dan kasih dari Allah. Dalam konsep hulul yang dipaparkan oleh Abu al-Mugis Husain bin Manshur al-Hallaj, Tuhan hadir, memilih, menjelma, dan menyatu dengan sufi tersebut. Konsep ini dibangun atas teori lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan).

4) Tahap kesatuan wujud: Wahdat al-wujud, dari Ibn 'Arabi, mengulas tentang kesatuan wujud. Dalam bahasa Arab, wahdat berarti kesatuan dan al-wujud adalah keberadaan. Konsep ini menyatakan bahwa pada hakikatnya, hanya ada satu wujud, yaitu wujud Allah. Alam dan keberadaannya hanya relatif terhadap wujud Allah. Alam tidak memiliki keberadaan sejati, yang membuatnya merupakan wujud relatif atau nisbi, sementara wujud Allah adalah mutlak dan absolut. Wahdat al-wujud menekankan bahwa pada hakikatnya, hanya ada satu kebenaran yang sesungguhnya yakni wujud Allah.

5) Tahap pemurnian tasawuf: Gerakan pemurnian tasawuf dimulai saat terdapat indikasi pemisahan dari syariat. Imam Malik bin Anas memimpin gerakan ini dengan menggabungkan fikih dan tasawuf. Beliau, sebagai ahli fikih dan suf, menegaskan bahwa tasawuf tanpa pemahaman fikih dapat menyimpang. Imam Malik menekankan pentingnya mempelajari fikih sebelum tasawuf untuk menghindari penyimpangan dari ajaran Islam. Beliau percaya bahwa pengetahuan sejati berasal dari nur yang Allah tanamkan dalam hati. Di zaman modern, Buya Hamka melanjutkan usaha pemurnian tasawuf dengan tiga reformasi: membersihkan tasawuf dari bid'ah, menjauhkannya dari nilai sosial usang, dan merumuskan praktik tasawuf modern dalam karyanya "Mengembalikan Tasawuf Ke Pangkalnya" pada 1972.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun