kebudayaan Jawa, termasuk dalam pelestarian seni tatah sungging wayang kulit. Seni ini merupakan salah satu warisan budaya yang memerlukan ketelatenan tinggi, melibatkan proses kreatif dalam menatah kulit kerbau dan menyunggingnya dengan warna-warna khas yang mencerminkan karakter tokoh wayang. Namun, seni ini kini menghadapi berbagai tantangan di tengah perubahan zaman.
 Kota Solo dikenal sebagai salah satu pusatPak Muryadi  Pelestari Seni Tatah Sungging Salah satu seniman tatah sungging yang masih bertahan di Solo. Dalam wawancara eksklusif, Pak Muryadi mengungkapkan bahwa seni tatah sungging bukan sekadar proses kreatif, tetapi juga media untuk menyampaikan  nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam cerita pewayangan.
"Wayang kulit bukan hanya seni pertunjukan, tetapi juga cerminan kehidupan manusia. Setiap tokoh memiliki pesan moral yang relevan dengan kehidupan sehari-hari," ungkapnya. Namun, beliau juga menyatakan keprihatinannya terhadap menurunnya minat generasi muda untuk mempelajari seni ini.
Problematika Seni Tatah Sungging, Seni tatah sungging di Solo menghadapi beberapa tantangan besar. Salah satunya adalah penurunan jumlah seniman muda yang berminat untuk belajar dan melanjutkan tradisi ini. "Anak-anak muda sekarang lebih tertarik pada teknologi modern. Mereka merasa seni ini terlalu rumit dan  memakan waktu lama," ujar Pak Muryadi.
Masalah lainnya adalah kesulitan dalam mendapatkan bahan baku berkualitas. Kulit kerbau yang digunakan harus melalui proses khusus untuk mencapai standar yang dibutuhkan dalam pembuatan wayang. Selain itu, harga bahan baku yang terus naik menjadi kendala tersendiri bagi para pengrajin.
Di sisi lain, apresiasi masyarakat terhadap seni wayang juga mulai memudar. Dengan maraknya hiburan modern, pertunjukan wayang kulit semakin jarang digelar, yang berdampak pada menurunnya permintaan akan wayang sebagai karya seni.
Hubungan dengan Masyarakat, Wayang kulit sejatinya memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat Jawa. Dalam budaya tradisional, wayang digunakan sebagai media pendidikan dan dakwah, menyampaikan pesan-pesan moral dan sosial. Namun, seiring waktu, keterikatan masyarakat terhadap wayang mulai berkurang. Banyak generasi muda yang menganggap wayang sebagai seni kuno yang kurang relevan dengan kehidupan modern.
Meski demikian, masih ada upaya dari berbagai pihak untuk menghidupkan kembali seni ini. Beberapa komunitas seni di Solo mengadakan lokakarya dan pelatihan tatah sungging bagi generasi muda. Selain itu, pemerintah dan institusi budaya juga berperan dalam mempromosikan seni wayang ke tingkat nasional dan internasional.
Nasib Keberlangsungan Tatah Sungging, Pak Muryadi optimis bahwa seni tatah sungging masih memiliki peluang untuk bertahan. Menurutnya, perlu ada inovasi dalam pengenalan wayang kepada generasi muda, misalnya melalui integrasi teknologi digital. "Wayang bisa dikemas lebih modern, tanpa meninggalkan esensi tradisionalnya. Misalnya, dengan membuat animasi berbasis cerita wayang atau  mengadakan pameran virtual," usulnya.
Selain itu, pendidikan budaya di sekolah-sekolah juga dianggap penting untuk mengenalkan kembali seni wayang sejak dini. "Jika anak-anak sejak kecil sudah mengenal dan mencintai wayang, mereka akan lebih peduli untuk melestarikannya di masa depan," tambah Pak Muryadi.