Mohon tunggu...
Jamur Pena
Jamur Pena Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Media hiburan berwawasan, agar bisa kenal lebih dekat bisa follow akun instagram @putranug__ .

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Upacara Sekaten sebagai Syiar Islam Wali Songo

15 Agustus 2024   16:58 Diperbarui: 15 Agustus 2024   18:48 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sih upacara sekaten itu?

Upacara Sekaten adalah rangkaian upacara yang memperingati hari kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW. campuran budaya jawa dan agama Islam yang pada masanya upacara ini sebagai sarana Islamisasi para mubaligh (wali songo).

Sekaten merupakan salah satu upacara tradisional yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ada beberapa pendapat mengenai pemaknaan sekaten:

1. Sekaten berasal dari kata sekati, yaitu nama dari dua perangkat gamelan pusaka Kraton Yogyakarta yang bernama Kanjeng Kyai Sekati.

2. Ada yang berpendapat sekaten barasal dari suka dan ati yang berarti suka ati atau senang hati.

3. Ada juga yang berpendapat bahwa sekaten berasal dari kata syahadatain (2 kalimat syahadat), yang isinya "laa ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah" (aku bersaksi baha tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)

Pada mulanya upaca tersebut dilakukan oleh raja-raja di Tanah Hindu dalam bentuk selametan atau sesaji untuk arwah para leluhur pada tiap tahunnya sebelum menjadi sarana dakwah para mubaligh (wali songo).

Alkisah, dahulu kala para raja Jawa selalu menyelenggaratakan selamatan yang dilaksanakan setiap tahun baru. 

Upacara itu disebut rajawedha atau rajamedha, tujuannya agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan perlindungan dan keselamatan kepada raja, kerajaan, maupun seluruh rakyatnya.

Pada masa Kerajaan Pengging semasa pemerintahan Prabu Hajipamoso, kala itu di Kerajaan sedang dilanda wabah penyakit menular yang disebarkan oleh para makhluk halus tentara Bathari Durga yang bersemayam di hutan Krendhawahana.

Untuk menghilangkan malapetaka itu Prabu Hajipamoso menitahkan untuk menyelenggarakan upacara kurban yang khusus dipersembahkan kepada Bathari Durga.

Dalam upacara tersebut yang dijadikan korban adalah kerbau liar dalam bahasa Jawa disebut maesa (kerbau) lawung (liar). Darah dan bagian tubuh tertentu dari hewan kurban dibawa ke hutan Krendhawahana untuk persembahan kepada Bathari Durga.

Setelah melaksanakan upacara tersebut wabah penyakit yang melanda kerajaan menghilang dan upacara kurban itu pun terus dilaksanakan dari zaman ke zaman, dari para raja Jawa hingga akhir masa kerajaan  Majapahit.

Tak lama setelah Raden Patah dinobatkan menjadi sultan pertama Kesultanan Demak dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar atau Sultan Ngabdil Suryangalam, beliau menghapus upacara adat tersebut karena hal yang demikinan dinilai bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam.

Karena upacara ini sudah turun temurun dilaksanakan, hal ini membuat masyarakat tidak terima dan pada saat itu juga masyarakat dilanda penyakit menular.

Pada akhirnya atas saran para ulama kerajaan (wali songo) upacara kurban itu dihidupkan kembali dan diberi warna keislaman, hewan kurban juga disembelih menurut syariat Islam yang dipanjatkan oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang.

Wabah penyakit pun menghilang setelah upacara tersebut dilaksanakan dan kerajaan kembali tentram. Di sinilah mulainya syiar agama Islam secara bertahap antara agama Islam dipadukan dengan memadukan adat istiadat setempat.

Mengetahui bahwa masyarakat suka dengan perayaan dan keramaian, muncul ide dari Sunan Kalijaga agar kerajaan menyelenggarakan perayaan setiap menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada bulan Rabiulawal.

Tujuannya agar menarik perhatian rakyat, secara tidak langsung mengajak mereka agar masuk ke Majid Besar. Di halaman masjid dimainkan sebuah gamelan sehingga para wali dapat berdakwah secara langsung dihadapan rakyat.

Meskipun hukum membunyikan gamelan di halaman masjid itu adalah makruh, namun demi kelancaran syiar Islam ide dari Sunan Kalijaga diterima oleh Majelis Wali Songo.

Karena itulah Sunan Giri yang sudah mengetahui teknik pembuatan gamelan, langsung membuatnya dan diberi nama 'Kyai Sekati'.

Hingga saat ini upacara sekaten terus diselenggarakan setiap tahunnya dan menjadi sebuah budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Upacara sekaten bukan hanya memberikan rasa cinta kita terhadap budaya Indonesia, tapi upacara ini juga memberikan kita akan semangat juang dakwah para pendahulu kita yaitu Wali Songo.

Semoga bermanfaat.

Sumber:

Buku karya suyami: Upacara Ritual di Kraton Yovyakarta Refleksi Mithologi Dalam Budaya Jawa.

Jurnal karya Nursolehah dkk: Akulturasi Islam Dengan Budaya Jawa Pada Tradisi Sekaten di Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

https://dpad.jogjaprov.go.id/article/library/vieww/upacara-tradisional-sekaten-594

https://www.detik.com/jogja/budaya/d-6945024/apa-itu-tradisi-sekaten-ini-sejarah-tujuan-hingga-prosesinya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun