Air mataku makin mengucur deras karena hatiku tersayat belati ketika mengingat ucapan bapak yang ingin menjodohkan ku. Kepada siapa aku mengadu? Kenapa bapak begitu tega denganku? Bisakah bapak lebih mengerti perasaanku? Bisakah bapak paham tentang kemauanku? Karena pernikahan bukanlah hal untuk uji coba, aku harus mempersembahkan jiwa dan ragaku kepada suamiku yang sama sekali tidak ku kenal apalagi aku cintai, sanggup kah aku melihat kekasihku disaat akad ku nanti? Bagaima kecewanya dia?
Tapi aku tidak boleh larut dalam tangis, namaku Zakyiatul Mufarikah adalah nama pemberian ibuku, perempuan yang berbahagia dalam kesucian, bisa juga bermakna perepmpuan yang tangguh, karena kalo tidak tangguh mana bisa bahagia dalam segala keadaan.
Aku tidak bisa mengadukannya pada siapapun, aku selalu berusaha mikul duwur mendem jero, walau hatiku hancur. Aku hanya bisa terdiam melihat puluhan pesan masuk dari kekasihku.
Aku hanya bisa pasrah mengandalkan pusaka keramat yang kupunya untuk berjuang melawan perjodohan ini agar tidak terlaksana.
Diam dan mengaji adalah senjata pamungkas karena aku tau letak seribu do'a adalah al Qur'an.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI