Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, telah menjadi tempat penting dalam perjalanan hidup setiap anak di bumi ini. Meskipun demikian, pertanyaan mendasar muncul: Apakah sekolah benar-benar mampu memenuhi berbagai harapan yang tergantung padanya, seperti pengetahuan, masa depan, kebahagiaan, kesuksesan, hingga kesantunan? Dalam beban-beban berat itu, mampukah sekolah mewujudkannya, atau sudahkah sekolah memiliki modal awal yang cukup untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut?
Dalam perspektif Ki Hadjar Dewantara, sekolah diibaratkan sebagai sebuah taman. Sebuah taman yang seyogianya harus menciptakan suasana menyenangkan dan nyaman bagi siswa. Namun, dalam realitasnya, pertanyaan mendasar muncul: Apakah sekolah benar-benar seperti taman yang diinginkan?
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, sekolah–sekolah sekarang tidak peduli dengan konsentrasi belajar siswanya, guru yang di tugaskan sebagai garda terdepan untuk memberikan ilmu, faktanya hanya memberikan beban. Teori konstruktivisme seakan menjadi sebuah kata saja. Teori konstruktivisme  mengharapkan siswa dapat mengalami perkembangan kognitif melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi mereka untuk membangun sistem makna serta pemahaman realitas. Faktanya di Indonesia teori ini sangat tidak berjalan. Penyebab utamanya adalah guru dan sekolah hanya menilai hasil. Sehingga dalam pembelajaran, proses transfer ilmu terjadi secara paksa. Guru menekankan jika harus begini para siswa juga harus begini. Terlebih pada pelajaran yang kompleks seperti matematika. Jika diberikan rumus, siswa hanya disuruh menghafal, tidak diberi tau asalnya darimana rumus tersebut. Inilah kagagalan dalam praktik pembelajaran. Guru tidak seharusnya membiarkan siswa menghabiskan waktu yang sia-sia di sekolah. Guru seharusnya menjelaskan secara sabar dan detail terkait materi pembelajaran. Sangat disayangkan di Indonesia ini terjadi pada jenjang SD, yang artinya daya kreativitas serta penalaran kritisnya mati.
Pengasuh di Pondok MBS Yogya, Arif Saifudin Yudistira, melalui bukunya yang menarik, "Mendidik Anak-Anak Berbahaya," mengajukan kritikan yang mencerminkan kepeduliannya terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Kritik tersebut mengarah pada tiga aspek utama, yaitu pendidikan anak, cara mendidik anak, dan refleksi terhadap sistem pendidikan.
Salah satu sorotan utama dalam kritikan ini adalah pembatasan aktivitas permainan bagi anak-anak di sekolah. Yudistira memandang bahwa membatasi anak-anak dari dunia permainan mereka adalah langkah yang menyalahi kodrat. Bagi Yudistira, permainan adalah dunia anak-anak, dan membatasi mereka pada tugas-tugas akademis tanpa kreativitas dan inovasi adalah seperti 'pembunuhan' secara akademis. Dalam pandangan Yudistira, pendidik seharusnya membimbing dan menuntun, bukan merampas dunia anak didiknya.
Kritikan lainnya yang diajukan Yudistira berkaitan dengan stigma "siswa gagal" bagi mereka yang tidak naik kelas dalam ujian akhir tahun. Kritik ini mencerminkan pandangan bahwa sekolah sering kali hanya menerima dan memberi pelajaran kepada anak-anak yang dianggap pintar, mengabaikan bakat dan minat unik setiap siswa.
Dalam mengatasi tantangan ini, Yudistira menekankan perlunya pendidikan yang kreatif dan inovatif. Pendidik harus mampu menyampaikan materi dengan cara yang menarik, seperti penggunaan media pembelajaran, presentasi yang atraktif, dan game edukatif yang sesuai dengan materi pembelajaran. Dengan demikian, suasana kelas dapat menciptakan lingkungan yang layak disebut sebagai "taman."
Meskipun buku ini memberikan pandangan yang menarik, beberapa kekurangan seperti kesalahan ejaan dan penggunaan kata tak baku perlu dicatat. Namun, penting untuk diingat bahwa kritik yang disampaikan Yudistira dilakukan atas dasar kepedulian terhadap masa depan pendidikan di Indonesia.
Dengan demikian, kita diingatkan bahwa perubahan diperlukan untuk menciptakan sistem pendidikan yang sesuai dengan cita-cita sebagai taman yang menyenangkan bagi setiap siswa. Harapan kita adalah agar sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga tumbuh dan berkembang seperti taman yang indah dan mempesona.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H