Mohon tunggu...
Perdana Putra Gultom
Perdana Putra Gultom Mohon Tunggu... Freelancer - Student at Undergraduate Programme of Anthropology, Universitas Indonesia

Manusia yang sedang mengambil kuliah mempelajari manusia dan kebudayaannya. Seorang penggemar olahraga yang tertarik pada isu sosial-politik, kebudayaan, teknologi, ekonomi, dan popular culture.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Proses Rakit Ulang Konstruksi Politik dan Hiburan dalam Media Massa di Indonesia

28 Desember 2019   15:47 Diperbarui: 30 Desember 2019   12:48 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Program Mata Najwa Eps. Ragu-ragu Perpu (sumber: Grid.ID)

Oposisi biner adalah konsep yang tepat untuk menggambarkan posisi politik dan hiburan, ibarat hitam dan putih, namun terciptanya warna abu-abu hasil percampuran keduanya adalah hal yang menarik.

Tulisan ini merupakan sebuah amatan saya tentang Program Mata Najwa yang menjadi sebuah fenomena pergeseran konstruksi antara politik dan hiburan. Saya akan bercerita melalui sebuah kasus khusus yang bersifat mikro tentang bagaimana konstruksi tersebut dibangun dalam diri saya, hingga proses terjadinya pergeseran konstruksi tersebut.

Pada masa saya masih kanak-kanak, televisi adalah suatu benda yang cukup penting keberadaannya, terutama dengan adanya tayangan kartun seperti Spongebob Squarepants, Tom and Jerry, dan sebagainya.

Kala itu teknologi belum seperti sekarang, boro-boro megang smartphone, ponsel yang digunakan orang tua saja bentuknya hanya berupa layar dan tombol kecil yang diperuntukan mengirim pesan dan telepon saja, hiburan bagi anak kecil adalah tayangan animasi kartun di televisi (selain mainan dan permainan seperti petak umpet dan kejar-kejaran,dsb).

Di balik menghiburnya kartun di televisi, ada satu hal yang membosankan dari televisi, yaitu berita, acara ini hanya berisikan informasi seputar isu politik, ekonomi, kriminal, dan hal-hal membosankan yang hanya disukai oleh orang-orang dewasa.

Hal-hal membosankan ini tidak menghibur sama sekali, semua yang ada seperti harus ditanggapi secara serius, berbeda sekali dengan kartun atau sinetron dan acara-acara komedi yang berhasil membuat saya tertawa.

Seperti keluarga kelas menengah pada umumnya, televisi di rumah saya diletakan di ruang tengah, sejenis ruang yang menjadi tempat keluarga berkumpul, hanya ada satu televisi di situ, sehingga peristiwa rebutan remote televisi adalah sebuah tontonan rutin tiap malamnya.

Saat bapak yang ingin menyaksikan tayangan berita di salah satu stasiun televisi dengan ibu yang ingin menyaksikan hiburan berupa sinetron di stasiun televisi yang lain, peristiwa ini membentuk pemikiran saya bahwa konten berita yang berisikan informasi seputar politik, ekonomi, dan kriminal adalah sesuatu yang serius karena "menyangkut dengan kondisi terkini negara dan dunia kita" kurang lebih seperti itulah argumen bapak untuk memenangkan perebutan remote televisi.

Sementara sinetron dan acara ngobrol-ngobrol seperti reality show dan talk show adalah acara yang penuh intrik, kelucuan, dan sensasi dengan tujuan sebatas untuk menghibur pemirsanya. 

Program Mata Najwa menjadi fenomena pergeseran konstruksi politik-hiburan di Indonesia (sumber: kaltim.tribunnews.com)
Program Mata Najwa menjadi fenomena pergeseran konstruksi politik-hiburan di Indonesia (sumber: kaltim.tribunnews.com)
Kalau bapak memenangkan perebutan itu, maka sudah dipastikan itu adalah malam yang membosankan, dan saya lebih memilih untuk tidur, karena saya belum mengerti dan dianggap masih kanak-kanak untuk mengetahui hal-hal serius ini.

Setiap pagi, kurir langganan bapak datang mengantarkan koran dengan halaman depan yang berisikan sebuah judul dan foto yang berukuran lebih besar dibanding gambar lain di koran itu. 

Sebagian besar, bahkan hampir keseluruhan konten di koran bacaan bapak isinya sama dengan yang ada di acara berita televisi, tidak akan jauhlah dari berita politik, ekonomi, dan kriminal, paling ada satu hingga tiga halaman yang diisi berita olahraga, lagi-lagi hal bernama politik itu menjadi begitu pentingnya hingga harus update terus, serius dan membosankan.

Seperti berita di televisi dan koran, informasi seputar isu politik disampaikan dengan bahasa yang formal, sehingga tidak semua orang dapat mengerti dan kurang menarik, menurut Denis McQuail (1994:131) salah satu tujuan yang berusaha dicapai oleh media berita di Indonesia adalah untuk national development secara politik, sosial, ekonomi, dan kultur, terdapat kepentingan dari penguasa dan oligarki media di dalam program berita, tak heran bukan bila terbentuk konstruksi serius, formal, dan kaku di acara berita dan isu politik. 

Berita dan Politik adalah dua hal yang vice versa, acara berita menjadi kaku dan penuh batasan karena menjadi medium kepentingan politik negara dan oligarki media (serius), sedangkan politik yang telah berkonotasi serius menjadi membosankan dan kaku karena disampaikan dalam bentuk berita yang formal. Ya benar, keduanya saling membentuk stigma.

Pada awal tulisan ini, saya sempat menceritakan pengalaman perebutan remote televisi oleh bapak dan ibu, stasiun televisi juga seolah terbagi, tak bisa kita pungkiri bahwa stasiun televisi seperti TVRI, Metro TV dan TV One menjadikan berita dan konten-konten serius sebagai komoditas utamanya.

Sementara stasiun televisi seperti SCTV, Indosiar, dan Trans TV/Trans7 lebih mengutamakan tayangan acara hiburan sebagai komoditasnya, sinetron, reality show, talk show, hingga acara musik dan komedi merupakan format acara yang lebih sering ditonton di stasiun televisi ini.

Kemajuan teknologi informasi memunculkan platform baru, salah satu yang paling populer dan mirip dengan televisi adalah YouTube. Serupa namun tak sama, keduanya sama-sama berbentuk audiovisual, bedanya adalah YouTube bersifat lebih fleksibel.

Bila televisi hanya menayangkan program yang telah ada di daftar programnya dan dengan jadwal tertentu, YouTube memberi kebebasan kepada penggunanya untuk memilih mau nonton apa, dimana, kapan, bahkan memberi kesempatan penggunanya untuk mengunggah kontennya, sehingga terdapat beragam konten YouTube. 

Umumnya, masyarakat menggunakan YouTube untuk menonton konten-konten seperti prank, review produk, make up tutorial, vlog, video klip musik, atau serial film, sehingga tercipta konstruksi YouTube sebagai sebuah media hiburan.

Stasiun-stasiun televisi (termasuk stasiun televisi berita) tidak getir menghadapi adanya YouTube, dibanding mencari inovasi baru di medium televisi, mereka lebih memilih untuk masuk ke ranah medium YouTube, namun perpindahan ini tidak serta merta mengubah konstruksi tentang berita dan politik di televisi yang serius, kaku, dan formal menjadi lebih menghibur seperti stigma terhadap YouTube yang menjadi platform hiburan. 

Mobilisasi ini hanya menjadi perpindahan semata tanpa ada perubahan untuk menyesuaikan dengan platform barunya, politik tetap ditampilkan dalam format berita yang seperti bertujuan untuk mempertahankan konstruksinya.

Proses Pergeseran Konstruksi

Beranjak dewasa, pandangan saya terhadap politik kurang lebih sama, kata kuncinya ada tiga: serius, kaku, dan jahat, setidaknya kata terakhirlah yang membuat politik sedikit lebih menarik, apa lagi semakin dewasa idealnya manusia semakin mengetahui mana yang baik dan mana yang jahat, dan saya memasukkan politik ke kategori jahat. 

Sama halnya dengan film action yang tidak akan menghibur tanpa adanya tokoh antagonis. Aktor-aktor politik hanya memainkan peran untuk saling menjatuhkan demi mendapat suatu barang langka yang disebut kekuasaan, konstruksi tentang politik yang serius dan kaku, serta konstruksi berkharisma politisi dan pejabat yang menjadi aktor di dalamnya seolah runtuh begitu saja akibat kerelaan mereka melakukan apa saja untuk barang langka itu.

Politik yang sebelumnya dipandang serius dan kaku seperti menjadi hiburan di saat aktor-aktornya mempertontonkan kebobrokan negara ini di hadapan rakyatnya. Inilah yang berusaha ditangkap oleh program Mata Najwa, sebuah acara dengan konten berupa diskusi seputar isu-isu "serius" bersama narasumber yang relevan dengan isu yang dibawa.

Program ini awalnya mengudara di Metro TV, sebuah stasiun televisi berbasis berita, dan untuk pertama kalinya saya menyukai tayangan di Metro TV. Isu politik yang sebelumnya selalu dikemas dengan gaya keberita-beritaan menjadi lebih menghibur ketika dibawakan dalam program ini. 

Inilah yang menjadikan acara ini menghibur adalah ketika Najwa Shihab dan programnya seolah menjadi pahlawan di film action yang memihak kepada rakyat saat "menyerang" narasumbernya yang kebanyakan adalah politisi, mungkin perdebatan antara politisi PDI-P yang juga anggota DPR-RI, Arteria Dahlan dengan Prof. Emil Salim saat diundang untuk berdiskusi mengenai isu Revisi UU KUHP adalah yang masih segar di ingatan. 

Di episode ini saya melihat bagaimana sisi emosional seorang politisi seperti dieksploitasi oleh Najwa Shihab, tuan rumah Mata Najwa. Melalui raut wajah, gesture, dan nada bicaranya, Arteria Dahlan terlihat begitu emosional saat berdiskusi, dan hal inilah yang saya maksud sebagai hiburan, Intrik antar aktor politik yang ditangkap oleh Program Mata Najwa menjadi hiburan tersendiri bagi penontonnya.

Program Mata Najwa Eps. Ragu-ragu Perpu (sumber: Grid.ID)
Program Mata Najwa Eps. Ragu-ragu Perpu (sumber: Grid.ID)

Bila dibandingkan dengan acara isu politik yang dikemas dengan format diskusi seperti Indonesia Lawyer's Club (ILC), ILC terlihat seperti masih mempertahankan konstruksi yang ada, dengan format diskusi berupa forum yang formal dan cenderung kaku, sehingga cukup membosankan melihat para pengacara dan narasumber berdiskusi seperti itu, walaupun masih ada intrik yang terjadi, ILC masih kalah menghibur dibanding Mata Najwa.

Mata Najwa menjadi fenomena terciptanya warna abu-abu hasil pencampuran dua warna yang berbeda antara politik dan hiburan, baik secara konten dan juga mediumnya. 

Mata Najwa menjadi bukti transformasi dari konstruksi isu politik yang sebelumnya dilihat sebagai sebuah hal yang formal, serius, dan kaku dengan format penyampaian yang keberita-beritaan menjadi lebih menghibur dan tidak kaku. Pergeseran konstruksi diperjelas dengan perpindahan stasiun televisi penyiar Mata Najwa, sejak 10 Januari 2018 Mata Najwa yang awalnya mengudara di Metro TV berpindah ke Trans7.

Secara umum, tayangan di Metro TV tidak jauh dari berita dan isu-isu politik serta kawan-kawannya, dan Mata Najwa yang menjadikan "isu-isu serius" seperti politik sebagai komoditasnya melakukan manuver dengan berpindah ke Trans7 yang tayangannya di dominasi oleh acara hiburan. 

Bukan hanya itu, Mata Najwa juga merambah ke platform YouTube, yang secara umum lebih sering digunakan sebagai media hiburan, melalui channel bernama Narasi, kita dapat lebih leluasa untuk mengakses konten diskusi isu politik tanpa harus menunggu jam tayangnya.

Fenomena program Mata Najwa menjadi contoh pergeseran konstruksi tentang stasiun televisi yang awalnya tersegmentasi antara stasiun televisi yang didominasi tayangan "serius" dan stasiun televisi yang didominasi berita hiburan, masuknya Mata Najwa ke YouTube juga menjadi bukti adanya pergeseran konstruksi ini. 

Politik dan format penyampaian isu politik yang awalnya identik dengan ciri serius, kaku, formal, dan pengemasannya yang keberita-beritaan menjadi lebih ringan dan menghibur dalam program Mata Najwa. 

Ibarat kopi dan susu, tercipatanya kopi susu kekinian yang sedang trend dapat menjadi analogi perpaduan dan pergeseran konstruksi antara politik dan hiburan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun