Tulisan ini ditujukan khusus untuk pemuda-pemudi warga desa galang tinggi kelahiran tahun 80-an hingga pertengahan tahun 90-an yang pernah duduk di bangku kuliah dan saat ini sedang menyandang gelar kesarjanaan.
Saat ini menjelang kontestasi pilkades Galang Tinggi yang sebentar lagi akan dihelat ada berberapa harapan dari warga desa agar para sarjana di Desa Galang Tinggi ikut andil dalam mensukseskan agenda enam tahunan tersebut. Â
Salah satunya adalah dengan ikut menjadi peserta calon kades yang akan datang. Tentunya hal tersebut merupakan sebuah kehormatan bagi kita yang disebut sebagai generasi milenial.Â
Memang di beberapa lembaga organisasi non pemerintah (non govermnet organization) maupun pemerintahan saat ini generasi milenial mulai mengambil peran sebagai suksesi dari pemimpin sebelumya. Namun apakah memang demikian dengan kita para sarjana milenal yang lahir di Galang Tinggi?
Pilkades merupakan ajang pertarungan politik tingkat desa yang mana dampak dari kebjiakan kepala desa yang terpilih langsung dirasakan oleh masyarakat. Tentunya kecapakan dan kepandaian dari seorang pemimpin, dalam hal ini kepala desa, akan sangat terasa kiprahnya di tengah-tengah masyarakat. Siapkah kita para sarjana milenal Galang Tinggi?
Untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut menurut saya diperlukan sebuah evaluasi diri yang komprehensif mengenai bekal apa yang kita punya. Baik itu dari segi wawasan, kecakapan diri, dan interaksi sosial keseharian.Â
Ditambah lagi kekuatan mental, moral, spiritual, dan material tentunya menjadi hal yang tidak boleh disepelekan juga. Tantangan kita sebagi seorang sarjana memang sangat berat.Â
Eksptektasi masyarakat yang menggangap kita sebagai seorang yang berintelektual yang memiliki banyak kecakapan menjadi tatangan tersendiri bagi kita. Bila kita tidak dapat memenuhi ekspektasi tersebut bisa jadi kita akan disebut sarjana yang gagal. Dalam bahasa di desa kita ada sebutan "Sarjana Pelantar".
Saya sadar bahwa ekspektasi itu terasa sangat membebani. Kita bukanlah seorang yang benar-benar ahli dan cakap. Kita juga masih perlu banyak belajar, karena belajar itu merupakan proses sepanjang hayat selama kita hidup.Â
Namun tantangan tetaplah tantangan, tegakkan kepala kita lalu mari kita buktikan kapasitas diri kita. Lalu apakah ajang Pilkades yang akan datang menjadi ajang pembuktian ini? Jangan terburu-buru untuk mengambil kesimpulan.
Dalam politik saya berpendapat pangkal dari sebuah tali rapiah bisa jadi ujungnya adalah sebuah kepala ular berbisa. Jadi ketika kita dihadapkan pada situasi awal harapan masyarakat untuk mengikuti ajang pilkades tidak demikian serta merta kita ikut saja tanpa mengetahui ujungnya.Â
Nalar kritis dan daya analisis seorang sarjana harus benar-benar terasah pada kondisi ini. Jika kita yakin pada ujungnya memang pengharapan masyarakat itu sama maka lanjutkanlah. Jika kita telah berkontemplasi namun menemukan perbedaan antara awal dan ujung maka berhentilah. Sekali lagi berhentilah. Putar haluan. Kembali ke awal.
Seorang sarjana memilik tanggung jawab moral dan intelektual dalam masyarakat. Seorang sarjana harus mengambil peran dalam mencerdasakan masyarakat dan memberikan solusi terhadap suatu permasalahan. Meskipun seringnya kita hanya dianggap anak bau kencur yang belum mengerti apa-apa dalam berkiprah di masyarakat. Biarlah dianggap demikian, tak perlu diambil hati. Seiring dengan waktu maka buktikan kalau anggapan mereka salah.
Kembali ke kalimat awal tadi, karena sarjana memiliki tanggung jawab moral dan intelektual pada masyarakat maka jangan sampai seorang sarjana menjadi "tumbal politik" oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pihak-pihak yang ingin memuluskan langkahnya dan meperalat para sarjana untuk terjun ke arena pilkades dengan menjadi calon peserta.Â
Saya mengatakan dengan lugas dan tegas bahwa saat ini kesarjanaan kita sengaja dipakai untuk diperalat agar mencederai demokrasi secara terselubung, tesusun, dan licik. Kita sengaja diiming-imingi agar ikut turun menjadi peserta pilkades agar beberapa orang tersingkir karena berkurangnya basis suara pemilih calon tertentu ataupun syarat ketidakcukupan bobot ijazah seorang calon karena jumlah bakal calon yang sudah overload.
Seorang sarjana dengan tanggung jawab moral dan intelektualnya harus sadar serta mengambil sikap yang jelas dan tegas. Menolak segala bentuk pencederaan terhadap nilai-nilai demokrasi yang tidak adil dan beradab. Cara-cara seperti ini harus dilawan karena merupakan sebuah kebohongan publik yang tak bermoral. Seorang sarjana dengan kapasitas intelektualnya harus berani bersuara dan bersikap.
Kita memang dipersiapkan untuk melanjutkan tongkat estafet pembangunan dari generasi sebelumnya yang memang belum banyak memiliki gelar sarjana. Namun kita jangan terlalu sombong seakan-akan kita merasa hebat hanya karena sudah memiliki gelar kesarjanaan dibanding para pendahulu kita. Lalu dengan sombongnya pula kita langsung terjun bebas ke arena pilkades mendatang hanya karena dukungan dari beberapa warga yang belum tahu jelas apa motifnya.
Kita tahu bahwa setiap masa ada pemimpinnya dan setiap pemimpin ada masanya. Saya meyakini bahwa nanti akan tiba dengan sendirinya, waktu yang akan memanggil kita untuk berbuat dan berkotribusi lebih pada desa kita tercinta, Galang Tinggi.Â
Saat ini teruskanlah apa yang bisa kita perbuat untuk mengisi hari-hari kita dengan kegiatan yang produktif dan konstruktif. Apapun profesi yang dijalani saat ini, selama halal dan tidak merugikan orang jalanilah. Berproseslah terus dengan terus belajar hal positif apa saja untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas intelektual. Tak perlu kita hiraukan para tetangga dan masyarakat yang memberian cemo'oh pada gelar kesarjanaan kita.Â
Demikian juga jika kita merasa ada sebuah cita-cita lain yang lebih menarik, menjajikan penghasilan yang besar, dan lebih prestige silahkan saja mengejar cita-cita tersebut. Tapi tetap jangan lupakan tanah kelahiran kita. Tetaplah memberikan sumbangsih apa saja yang kita bisa lakukan nanti untuk kemajuan desa kita ini.
Namun di sisi lain jika diri kita yakin dan merasa mampu untuk menjawab tantangan dan harapan dari masyarkat makan lanjutkah dengan haqqul yaqin bahwasannya ini merupakan panggilan pengabdian untuk memberikan kontribusi yang lebih besar pada masyarakat Galang Tinggi. Mintalah petunjuk dari sang Khaliq, lalu bulatkan tekad, rancang mekanisme berpikir mengenai kerangka kerja yang sistematis, lalu tuangkan dalam visi-misi kita. Mudah-mudahan niat baik kita selaku seorang sarjana di jabah-Nya.
Selanjutnya pada bagian akhir tulisan ini saya menuliskan pesan kepada siapa saja putra terbaik desa Galang Tinggi yang ikut dalam pencalonan kades yang akan datang. Bahwasannya saya tidak memandang apapun gelar kependidikan wak/mamang/kakak.Â
Saya mendukung siapa saja calon yang terpilih untuk melanjutkan pembangun di desa Galang Tinggi. Terlepas dari gelar kependidikan yang wak/mamang/kakak punya saya meletakkan rasa hormat saya setinggi-tingginya. Bahkan bila perlu saya secara pribadi juga ingin ikut belajar dari cara wak/mamang/kakak berproses sehingga menjadi putra-putra terbaik desa Galang Tinggi.
Wak/mamang/kakak memang tidak memiliki ijazah kesarjanaan secara formal, namun yang saya tahu definisi awal dari kata sarjana adalah berasal dari bahasa Sansekerta yaitu sajjana. Sajjana memiliki arti 'berwatak baik', 'arif', dan 'terhormat'.Â
Pada jaman dahulu, sarjana digunakan sebagai sebutan untuk cendekiawan atau orang pandai. Bagi saya pribadi wak/mamang/kakak merupakan orang-orang cendekiawan yang 'berwatak baik', 'arif', dan 'terhormat' dimana saat ini wak/mamang/kakak sedang menjalani proses pengabdian untuk membangun desa kita tercinta, Galang Tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H