Pada akhirnya google map lah yang memberikan solusi dan beberapa orang di sana yang membantu mengarahkan. Kami sangat menikmati saat-saat berjalan kaki menuju hotel. Tidak jauh, paling hanya sekita 500 meter dari tempat keluar stasiun kami tadi. Kami sama sekali tidak memikirkan untuk menggunakan moda transportasi online disana. Karena sejak dari awal kami bertekad hanya menggunakan transportasi umum yang tersedia di Malaysia, bukan transportasi online maupun taksi yang sangat praktis dan kurang berkesan.
Dari kejauhan kami sudah melihat nama hotel yang kami pesan. Namun sebelum sampai kesana kami berbelanja terlebih dahulu di minimarket 7-11 (seven-eleven). Kalau di Indonesia seperti Alfamart atau Indomaret. Saat tiba di hotel kami langsung menunjukan bukti pemesanan kami, setelah itu petugasnya mencocokan data sambil meminta paspor sebagai tambahan keterangan identitas.Â
Kemudian dia mengatakan bahwa sesuai dengan kebijakan pemerintah Malaysai setiap penginapan akan dikenakan pajak sebesar 10 Ringgit per malam. Artinya kami harus membayar 30 Ringgit untuk tiga malam kami di sana. Setelah proses check in  dan pembayaran pajak hotel selesai kami langsung diberikan kunci kamar dan password wifi.
Setelah berada di dalam kamar sederhana yang berukuran delapan meter persegi, kami merebahkan diri sejenak sambil memberi kabar kepada keluarga yang ada di Indonesia. Sekitar pukul 20.00 saat itu, waktu Malaysia. Pada hampir pukul 21.00 kami mulai meninggalkan hotel untuk mencari makan malam.
Sesuai dengan itinerary kami akan menuju kawasan Alor Food Street yang merupakan pusat kuliner terbesar di Bukit Bintang. Jaraknya lumayan jauh, sekitar 900 meter dari hotel kami. Namun seperti biasa dengan berjalan kaki kami menuju kesana sambil menikmati suasana malam yang megah dan mewah di negeri orang.
Di Alor Food Street suasananya selalu sangat ramai. Ditambah lagi saat itu merupakan malam minggu. Kami pun menulusuri dari ujung ke ujung jalan tersebut. Disana tersedia segala jenis masakan Asia bahkan Eropa. Mulai dari yang halal atau pun non-halal. Kami sempat binggung hingga pada akhirnya kami menjatuhkan pilihan di Cambodian-Thai Cuisine  Restoran untuk mengisi perut kami.Â
Petugasnya menghampiri kami saat sedang berjalan, dia mengatakan bahwa makanan di tempatnya halal dan dimasak oleh pegawai muslim. Kami pun memesan dua gelas es teh manis dan dua porsi nasi goreng Pattaya.
Nasi goreng Pataya merupakan nasi goreng khas Thailand. Nasi goreng tersebut dikemas di dalam telur dadar besar. Kadang kalau kita tidak tahu maka kita akan anggap itu hanya telur dadar besar biasa. Padahal saat kita belah telur tersebut ada nasi goreng di dalamnya. Saya mengetahui nama nasi goreng Pattaya saat saya membaca novel Ketika Cinta Bertasbih karangan Kang Abik pada tahun 2008.Â
Dalam novel itu diceritakan bahwa ketika itu pertama kali Khairul Azam berkunjung ke rumah Kyai Luthfi dan Kyai Lutfhi menyuruh anak gadis kesayangannya, Anna Althafunnisa, untuk membuatkan makan malam. Lalu Anna Althafunnisa pun memilih membuatkan nasi goreng Pattaya yang bentuknya lengkap dideskripsikan dalam  novel tersebut.