Oleh : Subchan Adi M. Pengurus DPC GMNI Palu
Bertemu dan bisa berdiskusi dengan Dr. I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, S.T, S.H, M.Si, benar-benar merupakan kehormatan besar buatku. Beliau adalah salah satu dari tujuh anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP RI), sekaligus menjadi tokoh senior di organisasi yang ku cintai,
"Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)".
Kebetulan, saat itu ia berkunjung di kota Palu untuk memberikan materi kepada
Penyelenggara Pemilihan di tingkat Provinsi. Akh... entah tentang apa itu bukanlah hal yang kita bicarakan disini. Tetapi yang cukup untuk menjadi kebanggaan kami sebagai anggota dan kader DPC GMNI Palu, adalah beliau bersama senior-senior di provinsi bersedia mengunjungi kami di kesekertariatan DPC GMNI Palu.
Tat Twam Asi oleh ayahnya, dan ini menjadi nilai yang saat itu ia sering sampaikan, salah satunya ketika ia berpidato dalam memperingati hari ibu dan hari sosial ‘Tanamkan Tat Twam Asi di dalam Dadamu’ dalam konteks saat ini bagaimana ajaran kebijaksanaan itu dipahami dan diimplementasikan khususnya bagi kami di GMNI ?”
Secerek kopi, beberapa piring gorengan, dan beberapa bungkus rokok adalah sajian yang amat sederhana yang bisa kami suguhkan. Tetapi sudahlah cukup untuk menjadi pelengkap diskusi hebat di malam itu. Dalam pertemuan yang hangat, beliau memberikan banyak petuah kepada kami. Tetapi kesempatan muncul ketika ia sejenak membakar sebatang rokok dan menyeruput segelas kopi, yah ini saatnya saya menyela dengan pertanyaan baru “mohon maaf bung izin bertanya, kebetulan bung beragama Hindu dan kalau tidak salah bung karno semasa kecilnya pernah diajarkanAkh...sudahlah menjadi tabiatku sebagai seorang yang pelupa, sedikit penyesalan ketika aku tidak mencoba merekamnya. Tetapi yang ku ingat, ia dengan sebatang rokok dikedua jarinya dan dengan senyum tipisnya menghiburku dengan mengatakan bahwa ini adalah pertanyaan yang berat. Kemudian ia menjawab dengan sangat lengkap dalam aspek teologis dan filosofis. “Tat Twam Asi mengajarkan bahwa keber“ada”an kita bergantung kepada ke“ada”an yang lainnya dan begitupula sebaiknya” yah, kurang lebih begitulah poin yang sekarang kuingat dan kupahami.
Amat sedikit yang bisa kukutip darinya, akh...maafkan aku sebagai seorang yang pelupa. Tetapi peristiwa ini sudahlah menjadi pemantik atas kobaran semangat untuk mengeksplorasi pemikiran Bung Karno terkait nilai kebijaksanaan Hindu pada ajaran “Tat Twam Asi”. Sekilas yang kulihat terdapat unsur materialis dimana Ada sebagai suatu eksistensi—Becoming—saling berpengaruh oleh eksistensi ke “ada”an yang lainnya. Tetapi unsur spritualitas juga menjadi konstruksi ajaran tersebut dimana juga terdapat nilai kesatuan antara Brahman (Tuhan) dan Atman (Jiwa).
Selain itu, Yang kutemukan dalam beberapa literatur, menunjukkan bahwa bung karno menyebut ajaran tersebut sebagai jiwanya Sosialisme, ajaran itu pula yang menjadi dasar dari nilai Pri-Kemanusiaan, dan pernah menjadi semboyan dari Departemen Sosial atau yang saat ini kita kenal dengan Kementerian Sosial. Pandangan ini menurut saya juga tidak jauh berbeda dengan konsep Bhineka Tunggal Ika atau dalam aspek teologisnya—dalam Islam—kita kenal pada konsep Wahdatul Wujud Ibn. Arabi.
Tat Twam Asi, yang dikenalkan kepada Soekarno sejak kecil, mengajarkan bahwa setiap individu harus melihat dirinya dalam diri orang lain. Ketika Soekarno menjatuhkan sarang burung secara tidak sengaja, ayahnya tak segan memarahinya dengan keras dan mengingatkan kembali ajaran Tat Twam Asi, bahwa Tuhan berada dalam diri semua makhluk. Hal ini menanamkan nilai bahwa semua makhluk hidup memiliki jiwa yang sama dan pantas mendapatkan perlakuan yang adil dan
setara.
Ajaran Tat Twam Asi dalam konteks sosial merupakan dasar utama bagi pengamalnya untuk dapat mewujudkan masyarakat yang damai (santih), sebagaimana dalam kitab Bhagavad Gita V.18: “Widya winaya sampanne. Brahmanegawi hastini. Suni caiwa swa pake ca. Panditah sama darsinah” (Orang bijak melihat dengan pandangan yang sama, baik seorang Brahman terpelajar dan rendah hati. Seekor sapi, seekor gajah atau seekor anjing. Seorang yang berkelahiran hina.)
Dengan demikian, Tat Twam Asi mengajarkan, walaupun manusia hidup dalam perbedaan, hal tersebut tidak merubah hakikat atma (Jiwa) yang ada dalam tubuh setiap manusia. Dengan memandang atma yang sama berada didalam setiap makhluk serta menerima kenyataan bahwa atma memiliki sumber yang sama, manusia dapat hidup harmonis dengan saling menghormati, menjaga dan menyayangi sesama.
Bakti sosial adalah salah satu bentuk karma yoga yang menitik beratkan kepada tindakan atau aksi tanpa terikat dengan imbalan dan mempersembahkan hasilnya sepenuhnya kepada Tuhan. Hal ini sebagai salah satu bentuk penyatuan diri dengan Tuhan. Seperti halnya Tat Twam Asi, agama Hindu juga mengenal istilah sepadan seperti manawa sewa, madawa sewa atau pelayanan kepada sesama manusia sejatinya adalah pelayanan kepada Tuhan. Dengan memahami ini, pelayanan yang dilakukan untuk sesama juga akan bermuara pada Tuhan. Ajaran Tat Twam Asi mengandung nilai-nilai kepedulian, kebajikan, kesetaraan, dan keharmonisan.
Ajaran ini nampaknya serupa dengan konsep Wahdatul Wujud Ibn Arabi, gagasan yang kemudian diringkas oleh banyak sufi dalam julukan, “Semua adalah Dia.” Inti dari teori "Wahdatul wujud" adalah gagasan bahwa realitas tertinggi dari segala sesuatu dalam keseluruhan keberadaan adalah Ilahi. Segala sesuatu di seluruh alam semesta adalah satu sejauh ia mencerminkan keesaan Tuhan; Makhluk Tuhan hanyalah refleksi dari wujudnya (Being). Dalam pengertian ini, sementara Tuhan dalam esensinya tidak berubah, absolut, dan transenden, dia hadir dalam segala sesuatu di dunia, semua realitas di dunia adalah tanda yang mengarahkan seseorang menuju realitas ilahi yang merupakan titik awal keberadaannya dan tempat kembali.
Hal yang serupa lainnya adalah berkaitan dengan semboyan bangsa Indonesia, Bhineka tunggal ika yang diambil dari penggalan bait kitab Sutasoma yang ditulis dalam Bahasa Jawa kuno oleh Mpu Tantular pada akhir abad ke-14 pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kutipan frasa ―Bhinneka Tunggal Ika‖ terdapat pada pupuh 139 bait 5, yang petikannya sebagai berikut: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”. Artinya Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda, Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu juga lah itu.Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Istilah Bhinneka Tunggal Ika yang semula menunjukkan semangat toleransi keagamaan, kemudian diangkat menjadi semboyan bangsa Indonesia sebagai falsafah persatuan Indonesia. Sebagai semboyan bangsa, konteks permasalahan-nya bukan hanya menyangkut toleransi beragama tetapi jauh lebih luas terkait dengan keragaman sosial meliputi suku, bahasa, dan budaya.
Keseimbangan akan kesatuan itu merupakan falsafah yang selalu terletak pada ketegangan di antara dua titik ekstrim, yaitu keanekaan mutlak di satu pihak dan kesatuan mutlak di pihak lain. Setiap kali segi keanekaan yang menonjolkan perbedaan itu memuncak akan membawa kemungkinan munculnya konflik, maka kesatuanlah yang akan meredakan atas dasar kesadaran nasional. Demikian pula sebaliknya, ketika segi kesatuan yang menonjolkan kesamaan itu tampil secara
berlebihan, maka keanekaan selalu mengingatkan bahwa perbedaan adalah kodrat sekaligus berkah yang tak terelakkan.
Dengan pola yang sama, dalam konteks Tat Twam Asi Soekarno membawa realitas metafisik pada realitas sosiologis pada kerangka persatuannya. Dalam salah satu pidatonya, yaitu pada peringatan Hari Ibu dan Hari Sosial, pada 22 Desember 1964
dengan judul “Tanamkan Tat Twam Asi di Dalam Dadamu !” ia menunjukkan hal
tersebut ;
Tat Twam Asi adalah bahasa Sanskrit,
artinja, dia adalah aku, aku adalah dia,
Tat Twam Asi. Dia adalah aku, aku
adalah dia, dan bukan sadja kepada
Dewajani saja bilang ini atau kepada
Saudari ini, tidak, kepada seluruh
kemanusiaan didunia ini kita berkata Tat
Twam Asi. Aku adalah engkau, engkau
adalah akum aku adalah engkau, (…)
djadi ini menggambarkan kesatuan
daripada kemanusiaan, The unity of
mandkind, kesatuan daripada
kemanusiaan, bukan perikemanisiaan.
(…) Humanity, peri-kemanusiaan, kalau
kemanusiaan adalah mankind. (…) Pri-
kemanusiaan jaitu rasa bahwa kita
seluruh manusia didunia ini adalah
bersatu, harus bersahabat satu-sama-
lain, harus adil terhadap satu-sama-lain.
Nah, Tat Twam Asi, kataku adalah dasar
rasa bahwa kita ini adalah satu bagian
daripada seluruh umat di dunia ini.
Engkau tidak berdiri sendiri, engkau
tidak berdiri sendiri, kita semuanja ini
adalah satu kemanusiaan dan oleh
karena itu kita harus berpri-kemanusiaan.
Nah, sebabnja ini dutuliskan oleh Bapak, olehku, diatas pandji yang kuberikan, adalah karena pekerdjaan sosial atau menjelanggarakan masjarakat sosialisme harus berdasarkan atas itu. (…) Djiwa sosialisme adalah sebenarnja Tat Twam Asi; kita mengenal sosialisme dengan perkataan, ja, satu masjarakat tanpa exploitation de I‘homme par-I‘Homme, tanpa seorang manusia menghisap kepada manusia lain. Kita mengenali definisi itu, tetapi kita tidak bisa mengharap agar supaja tiada exploitation de I‘homme par I‘homme, djikalau didalam dada dan djiwa dan roch kita tidak bersemajam Tat Twam Asi. Kalau engkau tidak bisa melihat kesengsaraan pada orang lain, artinja engkau merasa bahwa kesengsaraan dia adalah djuga kesengsaraanmu, barulah engkau sosialis sedjati. Djikalau engkau tidak bisa melihat bahwa ada orang lain
dihisap oleh orang lain, karena penghisapan kepada dia kaurasakan penghisapan kepada dirimu sendiri, barulah engkau sosialis jang sedjati.
Maka oleh karena itu sembojan jang
kuberikan kepada Departemen Sosial,
Tat Twam Asi, adalah satu sembojan
yang menurut anggapan saja sembojan
jang setepatptepatnja. Malahan aku
menghendaki agar supaja kita sebagai
satu bangsa merasa diri kita kompak,
bukan sadja merasa kita-punja bangsa
ini sebagai satu bagian daripada
bangsabangsa lain—kerangka ketiga
daripada Revolusi kita, jaitu
mengadakan dunia baru tanpa
exploitation de nation par nation—,
tetapi djuga kita dengan kita, kita antara
kita, kita harus mempunjai rasa yang
betul-betul Tat Twam Asi. Nasib yang
menimpa seseorang di Irian Barat, kita
rasakan sebagai nasib yang menimpa
kita punja diri, (…).
Dengan demikian, konsep Tat Twam
Asi yang diadopsi oleh Soekarno
menunjukkan toleransinya yang tidak
hanya terbatas pada wilayah teologis, tetapi juga mencakup wilayah sosial. Konsep ini
menegaskan pandangan Soekarno bahwa
perbedaan—khususnya secara ideologis
dalam kaitannya dengan marhaenisme—
Agama, Marxisme, dan Nasionalisme pada
dasarnya merupakan bagian dari satu
kemanusiaan yang memiliki tujuan
emansipatif.
Lebih jauh, dalam praktiknya, Soekarno
menerapkan konsep Tat Twam Asi sebagai
bentuk empati terhadap perasaan dan
pengalaman sesama manusia. Meskipun
bentuk empati ini bersifat subyektif, tetapi
penting untuk menciptakan kesiapan dan
kemampuan untuk memposisikan diri di
posisi orang lain. Hal ini memainkan peran
penting dalam mendengarkan dan
mencoba memahami pandangan orang lain
atau bahkan perbedaan ideologi yang
mungkin ada.
Ketika seseorang melihat orang lain
sebagai bagian dari dirinya sendiri, akan
lebih mungkin bagi mereka untuk mencari
solusi damai dan saling berupaya untuk
mencapai pemahaman dan kesepakatan.
Pendekatan ini mendorong dialog dan
diplomasi dalam menyelesaikan perbedaan
ideologi tanpa memandang rendah pihak-
pihak yang terlibat. Dalam kesimpulannya,
konsep Tat Twam Asi yang diaplikasikan
oleh Soekarno membawa pesan penting
tentang toleransi, empati, dan kesatuan
kemanusiaan. Pendekatan ini mengajarkan
bahwa melihat orang lain sebagai bagian
dari diri sendiri adalah langkah awal yang
kuat menuju pemahaman dan perdamaian
di tengah perbedaan ideologi. Dalam era
globalisasi dan kompleksitas dunia saat ini,
konsep ini tetap relevan dan relevan
sebagai pijakan untuk membangun
hubungan harmonis di antara kelompok
manusia yang berbeda.
Sebagai Mahasiswa, dan sebagai
generasi penerus bangsa, melalui konsep
ini adalah suatu wasiat dari Bung Karno
untuk menghayati dan mengimplementasikan falsafah Tat Twam
Asi dalam kehidupan sehari-hari. Falsafah
ini, yang menegaskan bahwa "Aku adalah
engkau, engkau adalah aku," mengajarkan
kita untuk melihat diri kita dalam diri orang lain dan merasakan penderitaan serta
kebahagiaan mereka sebagai milik kita
sendiri. Dalam semangat ini, mari kita
tingkatkan kepedulian dan empati kita
terhadap sesama, berjuang untuk keadilan
dan kesetaraan, serta memupuk persatuan
di tengah keberagaman. Melalui tindakan
nyata dan komitmen untuk menghapuskan
ketidakadilan, kita bisa membangun
masyarakat yang lebih harmonis dan
sejahtera. Jadikanlah nilai-nilai Tat Twam
Asi sebagai pedoman dalam setiap langkah
kita sebagai mahasiswa yang aktif dan
peduli. Merdeka !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H