Mohon tunggu...
zainudin hasan
zainudin hasan Mohon Tunggu... -

Mulailah dengan Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

"Diary Kepergianku"

21 Januari 2010   02:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setiap Muharram aku selalu teringat, begitu pula Muharram kali ini, saat jalan-jalan setapak ini mulai basah dijatuhi ribuan jarum lembut dari langit. Mungkin pekan-pekan ini langit terlalu cengeng, sehingga terlihat terus-menerus menangis yang berakibat menyisakan setumpuk pakaian kotor diember biruku. Muharram tahun keempat sejak mengenalmu masih seperti tahun-tahun yang sudah lalu, bagaikan ritual gerimis sepanjang tahun. Hujan.

Muharram 4 tahun lalu. Pertamakali mengenalmu tidak ada yang istimewa, hanya saja kau tampak lebih berbeda dibandingkan dengan orang-orang yang pernah aku kenal disepanjang hidupku. Tapi, entah karena aku terlalu asing atau dirimu yang terlalu sombong, dingin dan angkuh, jangankan untuk kusapa, sekedar memberikan sedikit senyum dariku kau berlalu begitu saja. Ketidakpedulianmu menumbuhkan benih-benih egois dalam diriku. Sikap buang muka adalah hiasan hari-hari disetiap pertemuan kita. Kau dan akupun semakin sibuk terbuai dengan kesibukan kita masing-masing. Dikala bertemu tidak pernah ada apa-apa selain sorot mata dingin dan langkah sok sibuk diantara kita. Mungkin kita mempunyai rasa ego yang sama, semakin sombong kau padaku akupun semakin sombong padamu. Pernah ketika sekali baru-baru bertemu kau menyemprotku, marah-marah tanpa alasan yang jelas, setelah itu tidak pernah sepatah katapun mengalir dari mulutmu untuk bicara denganku. Tapi setelah aku pikir-pikir kau layak untuk sombong, apa kurangnya dirimu? Kau bagai mutiara di dasar laut dan ibarat bunga di tepian awan, atau kalau kata lagu-lagu kau seperti rembulan. Terlalu tinggi.

Entah mengapa? Kulihat ada keganjilan disudut ekor matamu, aku akui jujur, mata beningmu pernah sejenak menyandera hatiku, ekor matamu pernah melecutkan nyali batinku. Tapi itu hanya sejenak, entah mengapa kau begitu tega menjauhiku bahkan sikapmu yang seolah-olah membenciku sehingga kata-katamu walau sepatah tak pernah satupun bisa kucerna dalam otakku. Tapi, wajahmu terlalu lembut untuk menjadi orang yang galak, aku tak pernah percaya akan semua sikapmu padaku. Pernah suatu ketika sempat tersebar ada kabar-kabar miring antara kau dan aku, tapi aku kira itu hanyalah karangan-karangan aneh nan ganjil karya teman-temanmu dan teman-temanku.

Di kelas 3 SMU, dirimu semakin asing saja bagiku, aku bagaikan mahluk planet lain ketika berpapasan denganmu, kau mulai asyik masyuk mengutak-atik rumus-rumus yang setiap saat membuat migran kepalaku. Pernah kulihat kau disudut kelas, di perpustakaan atau dipinggir pelataran mushola sekolah kita, membaca, menulis, kau menulis apa aku tidak pernah mengerti, karena bahasa yang kau gunakan selalu membuat aku berpikir berat untuk mencernanya. Kalaupun tidak menulis kau akan asyik masyuk berkutat dengan angka-angka, rumus Fisika, Kimia dan Matematika yang setiap saat membuat rontok rambutku satu persatu. Selain itu kulihat kau juga jago berdiskusi, hampir setiap saat kulihat kau berdebat bahkan dengan anak-anak mushola sekolah kita, entah apa yang kalian perdebatkan, kau memang pemikir sejati sekaligus berlidah api, nyaris tidak pernah kupercaya dibalik wajah lembutmu dan beningnya matamu tersimpan energi yang sampai sekarang tidak bisa aku terjemahkan. Kata-katamu kadang bisa membuat panas telinga orang, termasuk aku dan orang-orang mushola itu. Setelah itu, hari-hariku kujalani begitu saja, tak pernah sekalipun lagi bicara denganmu, menatap wajah lembutmu, melihat marahmu, gayamu, tingkah polahmu, mata beningmu, rambut hitam lurusmu yang hampir sebahu. Sejak itu, semuanya berlalu, aku sudah terlalu sibuk dan tenggelam dengan kursus band ku, basket, taek wondo dan play station, namun aku akui sekali lagi, setiap saat kau selalu menjadi misteri bagiku.

Muharram 3 tahun lalu, menjelang perpisahan tidak ada yang berubah darimu, bahkan hari perpisahan ini sedetikpun aku tidak melihat batang hidungmu. Ucapan perpisahan yang kubacakan dilapangan sekolah tidak mampu memanggil kehadiranmu, kau lenyap tanpa bekas setelah perpisahan itu, seperti halnya lenyapnya suaramu yang sudah dua setengah tahun tidak aku dengar, sekalipun hanya sebuah bisikan, sikapmu pun harus memaksaku untuk tetap pergi dari masa laluku dan sorot mata dingin serta angkuhmu lambat laun telah mengusirku. Aku harus pergi dari kota ini, kota yang telah menemukan aku dengan sebuah keangkuhan, ketidak pedulian dan kesinisan. Dan sejak itulah, kurasakan ada keperihan yang sangat disudut hatiku.
Hampir tiga tahun, aku pergi dari kota sinis pembentuk ego kepergianku, aku harus kembali dengan mengubur dalam-dalam lembaran-lebaran usang bersamamu. Aku tidak tahu lagi bagaimana bentuk rupamu, masihkan mata dan sudut bibir sinismu menatapku seolah-olah kau mengusirku dari muka bumi. Kau begitu tega, setega diriku pergi keseberang pulau seolah-olah mengikuti kemauanmu untuk pergi sejauh-jauhnya dari jangkauan matamu.

Muharram kali ini hampir tiga tahun berlalu, aku semester enam bagian Fakultas segitiga emas di kampus Hijauku, sebanyak itupula aku berhijrah, hijrah yang sebenarnya, bukan hanya kepergianku dari pulau tempat dirimu berperaduan. Dikampus hijau ini aku telah tersibghah (tercelup), terwarnai oleh sebuah warna baru, warna lain, selain warna saat aku pernah bersamamu. Setelah hampir tiga tahun pula kau selalu mengusik-usik waktu tidurku, tapi setelah kuselami warna itu. Disini klimaks cinta itu telah kugapai dimalam-malam larutku. Aku merasakan manisnya ukhuwah bersama saudara-saudaraku, di sini tidak ada sinis, tidak ada keangkuhan, perhatian dan persaudaraanlah yang aku rasakan terjalin indah. Aku tak pernah menyesal untuk tak pernah kau tegur.

Hari ini, seperti sebelumnya aku tak pernah sudi menatap wajahmu, yang ini memang diharapkan oleh tingkahmu, aku masih menggenggam buku diary biru milikmu, kubaca lamat-lamat untaian dan rangkaian demi rangkaian tulisanmu dan di tengah buku diarymu, entah pribadi apa yang kau miliki, masih belum aku mengerti. Dibuku diary itu kau banyak menulis namaku, nyaris disetiap lembar demi lembar tidak ada yang tidak ada namaku, kau begitu murung dan sedih ketika kepergianku tiga tahun lalu, puisi-pusi dan lagu tentangku terangkai dengan indah pada bait-bait syair ciftaanmu, bahkan kau kerap menemuiku dalam mimpi-mimpi tidurmu, oh Tuhan, aku baru sadar. Begitu dalamnya cintamu kau pendam, begitu rapi perasaanmu padaku kau simpan, cinta dan perasaan wanita memang sulit dipetakan, tanpa kusadari kau telah menjadi cermin bagiku, tingkahmu dulu adalah sebuah simbol untuk minta diperhatikan. Selanjutnya di Diary ini kau bercerita tentang kesunyian malam dan sepinya alam.
Hampir bagian akhir diary mu, kau bercerita perjuangan kerasmu melawan penyakit leukemia yang sudah lama kau derita. Dilain lembar kau goreskan setupuk agenda Dakwah Kampus mu, hari-hari perjuanganmu bersama anak-anak jalanan didikanmu, demonntrasi, aksi sosial, diskusi, serta interaksi-interaksimu dengan manusia-manusia langit dikampusmu. Dirimu ternyata merupakan salah satu motor penggerak organisasi di kampusmu. Pernah suatu saat ketika aksi demonstrasi yang kau ikuti nyaris bentrok dengan aparat, tak pernah menyurutkan langkahmu untuk membela hak-hak rakyat kecil yang tertindas, kau rela pulang menjelang malam, hebat juga nyalimu, sangat jauh berbeda dengan dirimu yang pernah aku kenal empat tahun lalu.
Kau juga mengikuti gerakan ekstra kampus, ini sangat menyita hari-harimu, waktu yang selalu padat, nyaris disetiap harimu kau hiasi oleh forum diskusi dan rapat-rapat, belum lagi dikelembagaan Universitas kau menjadi salah satu orang yang penting, hari-harimu kau isi dengan perjuangan tanpa kenal lelah. Kadang-kadang aku menjadi tidak pernah mengerti akan jalan pikiranmu. Pernah suatu saat kau rela ketempat terpencil bersama kawan-kawanmu hanya untuk mengatasi bahaya kristenisasi yang mulai merajalela ditempat itu, bersama teman-temanmu kau bermalam, tidur perumahan kumuh, padahal aku tahu persis latar belakang keluargamu yang termasuk orang yang berada. Kau menuntun, kau arahkan dan kau bina masyarakat yang mulai terpinggirkan, bersama anak-anak itu kau ajarkan mereka mengaji, berhitung, membaca dan menulis. Lembar demi lembar petualangan hidupmu kubuka, perjalanan hidupmu makin jauh berbeda, kecenderungan menggoreskan perjuangan-perjuanganmu seolah-olah semakin mempertajam pemikiranmu akan arti dan makna sebuah kehidupan. Kau semakin bijak bersikap.

Kubuka lembar demi lembar sampai yang terakhir, tak pernah lagi kutemukan namaku kau goreskan, tapi dipaling akhir diary ini kubaca:

Assalamualaiku. Wr. Wb.
Untuk saudaraku yang berada diseberang sana, semoga kelak kau bisa membacanya.
Sungguh, apa yang mata kepala kita lihat tidaklah sepenuhnya benar.
Hidupku tinggal menghitung waktu, tapi aku ingin akhir dari kehidupanku berarti bagi orang lain, karena harta dan jiwaku telah kujual untuk-Nya.
Saudaraku, aku tahu kaupun telah berubah,
Mafkanlah aku,
Teruskanlah perjuangan dijalan dakwah ini, sampai saatnya datang keputusan Allah kepada kita. Kita syahid dijalannya atau Allah mengizinkan kita menyaksikan Dakwah ini dimenangkan atas millah-millah yang lain.
Wassalamualikum. Wr. Wb.
Malaka, 8 Januari 2005

Dari sebuah koran Nasional dikabarkan, 13 Februari 2005 tepatnya tiga hari setelah muharram tahun ini, saat sore mulai hujan gerimis lagi, dipinggiran kota Jakarta sebuah mobil kijang silver bertabrakan dengan mobil kijang berwarna merah. Kijang berwarna merah itu berasal dari arah yang berlawanan terlihat oleng yang melaju dengan kecepatan tinggi, menabrak marka pembatas jalan dan kemudian menghantam kijang silver yang sedang melaju di depannya. Pada kijang berwarna silver itu ditemukan setumpuk pakaian, lima dus mie instant, tiga karung beras dan beberapa bungkus gula dan minyak makan, tiga orang Akhwat (wanita) seolah-olah tersenyum dilelap tidur panjang mereka, terkulai dipenuhi percikan-percikan darah dijilbab-jilbab putih mereka, diatas radio yang sedang mengalun lembut murottal tergeletak sebuah buku diary kecil berwarna biru.
Koran ini kulipat, kukantongkan disaku celanaku, diary biru ini kugenggam dengan erat. Sesaat kulihat gundukan tanah merah didepanku, masih terlihat basah. Kutatap kearah langit, nampaknya langit ingin menangis lagi, aku kemudian berlalu meninggalkan kesunyian nisan kuburanmu. Semoga kau bahagia dialam sana.

Pondok kelapa, Maret 2006

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun