Masih dalam nuansa bulan kemerdekaan. Yaa..71 tahun sudah negara Indonesia kita tercinta menikmati manisnya nikmat kemerdekaan. Tentu hal ini seharusnya tak menjadi sekedar ritual peringatan tahunan begitu saja, akan tetapi lebih jauh dari itu, usia 71 tahun kemerdekaan ini harus kita sikapi bersama dengan melakukan segenap kajian dan evaluasi terhadap kemerdekaan dalam arti sesungguhnya yang lebih luas.
Sebagai bagian dari bangsa yang besar ini, tentulah kita harusnya satu pendapat bahwa dipundak kita terpikul sebuah janji kemerdekaan yang harus kita lunasi bersama. Sebuah janji, buah dari hasil perjuangan para pendiri bangsa yang telah mendahului kita. Sirna tanpa bekas rasanya manakala ucapan merdeka hanya sekedar ucapan bergema tanpa makna.
Hilang tak bertuan rasanya apabila ucapan “Merdeka” hanya menjadi sebuah teriakan tak berarti apa-apa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawan. Menghargai jasa para pahlawan dalam arti semangat kemerdekaan kini harusnya disikapi dengan langkah kongkrit untuk melanjutkan janji kemerdekaan.
Sejarah telah menggores di lembaran perjuangan bangsa kita, bahwa kemerdekaan 17 Agustus 1945 dibangun di atas sekian darah perjuangan. Kemerdekaan Republik Indonesia bukanlah hasil pemberian bangsa penjajah. Kemerdekaan negeri ini kita peroleh di atas tumpah darah para pejuang. Kita akan malu dan dicap tak tahu malu dalam sejarah manakala setelah 71 tahun kemerdekaan ini pemikiran kita ternyata belum merdeka.
Sungguh ironi, jika di usia 71 tahun kemerdekaan negeri tercinta antar bangsa Indonesia saling menjatuhkan dengan hanya dilatar belakangi materi. Munculnya koruptor serta kroni-kroninya hingga saat ini jika dicermati bersama sesungguhnya adalah sebuah “kecelakaan” yang tak sepatutnya terjadi. Lebih bahaya lagi manakala sebuah “pendidikan” dipersalahkan atas kejadian di negeri ini.
Founding father kita lebih jauh sudah mempunyai pemikiran ke depan, bahkan sejak terbentuknya negeri ini. BPUPKI yang dilanjutkan PPKI sebagai sebuah badan persiapan kemerdekaan telah merancang konstitusi sebegitu hebatnya melalui UUD 1945. Sebuah hak dasar dan kewajiban warga negara dengan jelas ditinta hitamkan dalam batang tubuh UUD 1945, di antaranya adalah pendidikan. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
”Demikian cuplikan salah satu pasal dalam konstitusi negara kita. Jika kita perhatikan secara seksama, kenapa pendidikan dimasukkan sebagai salah satu hak dasar adalah bukannya tanpa alasan. Mengapa tidak berbunyi saja“setiap warga negara berhak mendapatkan uang“atau juga tidak berbunyi saja “setiap warga negara berhak duduk di kursi empuk ber AC” .
Ah..wahai Bung. Kita jangan menjadi orang yang bodoh, juga jangan jadi orang yang bermental dijajah. Percuma kita merdeka, sedangkan alam kita adalah adalah manusia bermental dan berpemikiran dijajah. Setidaknya kita harus merubah arah pemikiran kita sebagai orang yang merdeka dalam arti sebenarnya. Setidaknya ada empat hal tujuan yang digariskan dalam mukaddimah konstitusi negara tercinta kita ini, diantaranya adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ada sebuah cerita yang patut kita cermati bersama. Menceritakan sebuah pemikiran dari dua orang yang berbeda jauh, kendati keduanya sama-sama berada dalam alam kemerdekaan bangsanya sendiri. Singkat cerita ada seorang, katakanlah bernama si Mata Duitan dan si Mata Berpendidikan. Yaa, dari namanya sekilas akan terlihat jelas perbedaan dari kedua orang ini. Tanpa diketahui sebab yang jelas melatarbelakangi si Mata Duitan ini mempersalahkan mereka-mereka yang mengecap pendidikan tinggi tapi ujung-ujungnya nganggur atau tidak mau bekerja sembarangan alias pilih-pilih.
Si Mata Duitan ini seolah menjadi satu-satunya orang yang menikmati empuknya kursi kerja kendati secara pendidikan si Mata Duitan pas-pas an alias tidak tinggi-tinggi amat. Di lain pihak si Mata Berpendidikan berpendapat bahwa, menjudge bahwa berpendidikan tinggi menjadi sebuah kesalahan adalah sebuah pemikiran sempit.
Kalaulah ingin memberikan sebuah contoh, alangkah baiknya berilah sebuah contoh yang tidak tanggung-tanggung, semisal berpendidikan tinggi tapi juga mapan dalam pekerjaannya, dan sosok orang seperti itulah yang harusnya dikasihkan sebagai contoh, bukan mencontoh orang yang berpemikiran tak perlu repot-repot mengejar pendidikan tinggi, yang penting dan yang bagus itu adalah berpendidikan pas-pas an saja tapi bisa bisa duduk dikursi empuk ber AC dalam lingkungan kerja.
Wahai sobat pembaca. Alangkah malunya diri kita tatkala hingga 71 kemerdekaan negeri ini, pemikiran kita masih sempit dalam lingkungan duit. Hampir pasti, jikalau dulu bapak bangsa pendiri republik ini mempunyai pemikiran duitan, kita saat ini tak akan mungkin hidup di alam kemerdekaan. Bayangkan, manakala pemikiran para pendiri bangsa dahulu bisa ditukar dengan uang alias duit, tentulah kita tak kan pernah mendengar suara Bung Karno seperti dalam naskah proklamasi. Para pendiri bangsa ini adalah orang yang berpendidikan.
Berpikiran jauh ke masa yang akan datang. Sejarah kemerdekaan 17 Agustus 1945 tak akan berulang untuk kedua kalinya. Jangan sampai kebodohan dalam pemikiran menyebabkan bangsa ini mengalami masa penderitaan dalam penjajahan. Yaa..setidaknya tidak mengalami penjajahan dalam arti luas. Kita patut bersyukur, Alhamdulillah orang seperti si Mata Duitan yang tak menganggap pendidikan itu sebuah hal yang berharga dan penting tak hidup di masa pergerakan perjuangan kemerdekaan dahulu. Kalau lah ada sosok si Mata Duitan dahulu, tentulah ia menjadi noda hitam kelam dalam lembaran bangsa ini.
Namun kita patut bersedih, manakala ukuran duit menjadikan sebagian dari kita gelap mata, memandang sebuah materi berupa uang, kursi empuk, dan ruang ber AC menjadi nilai tertinggi di atas pendidikan. Pendidikan adalah hak dasar manusia. Bahkan orang yang beragama sekalipun, misalnya Islam, diajarkan kali pertama adalah perintah membaca.
Yaa…sebuah bagian dari pendidikan. Para generasi muda berpendidikan sekarang tak jadi soal kalaulah misalnya dianggap oleh sebagian para pemuja uang sebagai orang yang minim pengalaman. Tak masalah. Sekali lagi tak masalah, karena sungguh kita meyakini generasi muda berpendidikan itu ia tak tawarkan masa lalu, ia menawarkan masa depan untuk bangsa ini. Berbahagialah dan patutlah Anda berbangga dengan capaian pendidikan serta capaian sumbangsih motor penggerak pembangunan negeri ini, Kawan.
Abaikan suara gelapnya kebodohan di kanan kiri Anda. Sesungguhnya perlahan-lahan orang yang mengolok-olok Anda akan menjadi bagian masa lalu dan tenggelam, dan kelak Anda lah tumpuan masa depan bangsa ini. “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H