Tangan mulusnya kini tampak lusuh tak terawat, lengan yang dulu berisi kini tak terlihat lagi. Namun jari lentiknya masih menari-nari, hanya saja bukan pada panggung seni tari. Karena kini semuanya telah berbeda.
Sina melangkahkan kakinya menuju rumah. Suara kereta yang berlalu lalang menjemput sekumpulan pria, wanita, muda hingga tua yang ingin kembali pulang selepas mencari nafkah, terdengar memekikkan telinga.
Asap knalpot, dedaunan kering dan debu yang bertebaran membuat Sina harus menutup hidungnya berkali-kali.
Ada beberapa potongan ayam goreng yang kini ada di genggamannya. Ayam goreng untuk Anton - anaknya. Anton pasti akan senang sekali, batinnya.
Sesampainya di sebuah bangunan tua yang hampir rubuh, yang warna catnya sudah menghilang sejak beberapa tahun silam, bangunan yang lebih sering ia sebut sebagai rumah, Sina melihat anaknya tengah tertidur, sesekali merintih memegangi perutnya.
"Nak, Ibu pulang, ada ayam goreng untukmu."
"Hore, hari ini kita makan ayam goreng, hari ini kita makan mewah ya, Bu!"
Anton kegirangan, mulutnya sibuk mengunyah potongan demi potongan ayam goreng yang Sina bawa.
Sore itu pikiran Sina melayang. Jari lentiknya baru saja menari-nari pada tong sampah di depan restoran ayam goreng terkenal. Perutnya dan perut Anton memang belum juga terisi sejak kemarin. Kalau saja aku tak mencintaimu, Nak. Maafkan Ibu.
**
Putri Apriani, Maret 2020