Katanya, ia akan segera kaya raya dan bersedia menikahiku, asal aku mau bersabar menjaga cinta ini agar tidak padam.
Ya, ia berjanji padaku, akan mencintaiku sepanjang usianya. Dan aku percaya itu.
Galih, ia adalah kekasihku sejak enam bulan yang lalu. Ia seorang pekerja keras. Pagi hingga siang hari ia membantu Pak Manta berjualan sayur mayur di Pasar. Sore hari ia beristirahat sebentar, sementara malam hari ia juga mencari pekerjaan tambahan, uang yang dihasilkan pun lebih banyak dibanding hasil upah bekerja dengan Pak Manta.
Sebagai orang yang mencintainya, aku bersedia melakukan apa saja, asal itu dapat membuatnya bahagia. Tapi ia lelaki baik, ia tak pernah menuntut banyak dariku. Hanya satu, ia meminta aku untuk bersabar menjaga 'cinta' ini. Sebuah lilin yang setiap malamnya menyala, dan aku tak boleh sedikitpun lengah menjaga lilin tersebut agar selalu tetap menyala hingga ia datang kembali. Baginya, lilin itu pertanda cinta kami, cintanya untukku, cinta yang juga tak pernah padam.
Entah angin apa yang membelai mataku barusan, aku terlelap beberapa saat. Sudah pukul dua, biasanya ia sudah pulang dengan membawakan satu kantong hitam yang berisikan uang ataupun perhiasan. Rasanya aku sudah tak sabar menantinya. "Sabar ya sayang," kata-katanya selalu terngiang.
Pukul empat subuh, dan ia belum juga kembali. Aku semakin khawatir.
Pukul tujuh pagi, rumahnya ramai, warga berbondong-bondong datang membawa seekor babi berwarna hitam yang disebut-sebut telah meresahkan warga beberapa bulan terakhir ini.
Orang tua Galih menangis melihat seekor babi yang kini telah menjelma menjadi anaknya.
"Ia tak akan pernah kembali lagi," kata Ibunya padaku.
Aku menangis, namun tak mengerti apa yang terjadi. Galih, di mana kamu? Apa benar kamu tak pernah kembali?
**
Juga dipublikasikan di poetriapriani.blogspot.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H