"Biasanya, setiap pagi ibuku jualan kue di pasar, tapi hari ini nggak, demi ketemu kamu." Dito menjelaskan padaku.
Berjualan kue? Oh ternyata ibu Dito seorang penjual kue? Ah, aku jadi ingat Mbok Cenil. Batinku.
"Sebentar ya, aku panggil Ibu dulu."
Aku tengah melihat-lihat foto yang berjejer rapi ketika suara seorang perempuan paruh baya memanggilku.
"Neng Sita?"
"Lho ibu udah kenal sama Sita?"
Aku terkejut, kemudian membalikkan badanku. Suara dan wajahnya memang sudah tak asing bagiku. "Mbok Cenil?"
Beberapa detik kami sempat saling melemparkan pandangan, beberapa saat kemudian kami saling tersenyum dan berpelukan.
"Bu, ini Sita, calon istrinya Dito, kalo Ibu setuju lho."
"Ya Allah Gusti, Dito, Neng Sita ini langganan Ibu, setiap hari dia beli cenil Ibu, tempo hari Ibu tanya ke Neng Sita soal calon suami, tapi Neng Sita cuma senyum, nggak pernah jawab apa-apa. Ibu ini udah ngarep banget lho Neng Sita jadi mantu Ibu. Tapi mungkin Neng Sita malu ya punya mertua penjual cenil? He..he..he.."
"Nggak Mbok, bukan begitu, Sita nggak malu kok kalo punya mertua penjual cenil, cuma Sita kan udah punya Dito, dan Sita nggak tau kalo Dito anaknya Mbok Cenil."