"Ini kembalinya Neng. Jadi udah punya calon belum?"
"Ah, si Mbok, Sita berangkat dulu ya?" jawabku terburu-buru lantas meninggalkan Mbok Surti dan kembali ke mobilku menuju kantor.
Maaf mbok, sedikitpun aku tak memandang statusmu sebagai penjual cenil, tapi sudah tiga bulan ini hatiku dibuat berbunga-bunga oleh seorang lelaki bernama Dito. Lelaki santun, pekerja keras dan bertanggung jawab, ia merupakan atasan di kantorku, lebih tepatnya aku adalah sekretaris pribadinya. Sayangnya hingga detik ini ia masih cukup tertutup dan belum mengenalkan aku dengan keluarganya.
***
"Ta, aku mau serius sama kamu. Kamu gimana?" tanya Dito padaku di sela-sela jam istirahat kantor.
"Lho, Dito, kamu nggak percaya sama aku?"
"Besok aku kenalin kamu ke ibuku ya?" tangannya menggenggam tanganku, sementara senyum manisnya berhasil menggerogoti napasku.
"Serius?"
"Iyalah, menurutku ini udah waktunya kamu kenal sama ibuku. Ibu tuh satu-satunya harta yang aku punya saat ini setelah ayah meninggal empat tahun lalu. Ibuku itu pekerja keras walau usianya udah nggak muda lagi. Aku bangga banget sama beliau. Semoga kamu bisa cepat akrab ya sama Ibu."
Aku mengangguk cepat, tak sabar menunggu hari itu datang.
Keesokan harinya aku diajak ke sebuah rumah sederhana. Bahkan sangat sederhana untuk ukuran manajer perusahaan ternama seperti Dito.