"Bu, di sini dingin, masuk yuk." Ucap Rani sambil mengelus punggung ibunya.
"Eh, ehm Rani? Kamu dari tadi di sini, Nak?"
Rani menggeleng, lalu bertanya kepada ibunya. "Ibu kangen sama ayah?"
"Kemarin ibu bertemu ayahmu, kondisinya benar-benar memprihatinkan. Dia minta maaf pada ibu, ayahmu ingin kita bersama lagi, bahagia lagi seperti dulu."Â
Rani tampak terdiam, menghela napas sejenak. "Ibu ingin kembali?"
"Apa salah bila ibu ingin kembali? Bagaimana pun juga ia ayahmu."
"Ayah? Lelaki brengsek itu? Masihkah pantas disebut sebagai ayah? Setelah kita sudah bahagia tanpa dia, Bu? Setelah hidup kita sekarang berangsur membaik? Setelah kita sekarang punya segalanya, tanpa harus mengemis pada orang-orang, di mana letak hati lelaki brengsek itu, Bu?"
Kenangan pahit beberapa belas tahun lalu tak dapat menahan amarah Rani. Dulu, ia dan ibunya berjuang bersama, berbekal beasiswa yang ia terima, Rani dapat meneruskan sekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi. Ibunya juga mulai bangkit dengan memulai bisnis kuliner kecil-kecilan, sang ibu sembuh total dari kelumpuhannya, kemudian setelah Rani lulus kuliah, mereka meneruskan bisnis tersebut secara bersama-sama. Restoran yang mereka rintis kini telah buka di beberapa cabang. Tuhan memang tak pernah tidur, tak pernah membiarkan mereka terus mendekam dalam keterpurukan.Â
"Istighfar, Rani...." Teriak ibu sambil merengkuh tubuh anaknya itu, tangisnya pecah dalam pelukan Rani.
Â
Ia adalah perempuan tangguh
Walau seringkali kau menganggapnya rapuh
Cintanya, kasihnya, setianya padamu sempat kau bunuh
Meninggalkan derai luka yang kian luruh