Â
Sore itu sepulang kerja aku mendapati tubuh lemah ibuku terbaring di atas kasur, ada ayah dan kakakku yang mendampinginya. Tubuhnya kini seperti tulang yang hanya dibalut kulit tipis, kurus sekali, padahal sebelumnya ibu tergolong gemuk, keriputnya juga makin melebar, bicaranya tersendat-sendat.
Â
"Pa..nas.. badan Ibu panas." Kata Ibu seraya mengusap-usapkan wajah dan sekujur tubuhnya. Ayah dengan sigap mengipasi ibu dengan kipas rotan agar tetap berada di suhu yang stabil.
Ibu memang tak menjalani kemo walau kanker payudaranya sudah mencapai stadium 3B, pengangkatan salah satu payudara pun sudah dilakukan setahun yang lalu. Dengan berbagai pertimbangan, ibu ingin menjalani pengobatan alternatif saja.
Â
Dari obat berupa jamu-jamuan yang ibu minum, menimbulkan rasa panas yang luar biasa. Ah, aku seringkali acuh, bahkan seperti tak punya hati nurani. Seringkali kami terlibat selisih paham belakangan ini, ya, mungkin aku memang anak durhaka.
Â
***
Â
Malam selepas magrib, aku, kakak, beserta adikku berkumpul di kamar ibu. Ibu menasihati kami agar tetap dan lebih hidup rukun. Tak terasa air mata menetes di mata kami, satu persatu. Kakakku tampaknya menyembunyikan air matanya dengan memalingkan wajahnya ke arah jendela, adik mematung di hadapan ibu, sementara aku segera berlari ke toilet. Bodoh, mengapa baru sekarang hatiku mencair?!! Batinku meronta. Aku sayang ibu tapi aku tak mampu mengatakannya! Aku menghapus satu persatu bulir air mata yang memenuhi pipiku. Mencoba tegar di antara godam-godam yang bersarang di dadaku, sesak rasanya.