“Kenapa kau belum tidur? Masih kurang kenyang, hah?!” Ucap si Loreng dengan penuh emosi.
“Dengarkan aku dulu, karena aku akan menyampaikan pesan untuk terakhir kalinya kepada kalian.”
“Pesan? Untuk terakhir kalinya? Apa maksudmu?” Si Putih terlihat begitu penasaran mendengarnya. Sementara si Oranye memandang dengan iba dan siap mendengarkan si ayam bercerita.
“Selama ini kalian tak pernah tahu kan? Bahwa kami, keluarga ayam begitu takut pada hari eksekusi.”
“Hari eksekusi?” Ucap si Oranye.
“Hari di mana kami akan menemui ajal kami. Setiap bulan, ayam yang Nenek pelihara akan dipotong kemudian dimasak untuk menu spesial Nenek dan Anna. Setiap harinya kami memang diberi makan yang lebih banyak porsinya dibanding kalian, pun tak diberi tugas atau pekerjaan seperti kalian, hanya makan dan tidur saja. Karena semua itu kami memiliki badan yang gemuk dan sehat, jadi ketika dipotong akan menghasilkan daging yang tebal. Setelah daging kami di masak, apakah kalian ikut memakannya?”
Ketiga kucing mengangguk tak tega.
“Sekarang kalian paham kan? Mengapa kami selalu diperlakukan istimewa? Padahal kami berpikir sebaliknya, kalianlah yang diperlakukan istimewa, dibiarkan untuk tetap hidup bersama Nenek dan Anna. Dibiarkan hidup bersama saudara-saudara kalian. Sementara kami? Kami harus melihat satu-persatu saudara kami mati.” Lanjut si ayam.
Ketiga kucing hanya terdiam, tak mampu berucap satu patah katapun. Semenjak saat itu ketiga kucing selalu hidup rukun dengan keluarga ayam. Keluarga kucing tak pernah lagi mengejek keluarga ayam, mereka hidup dengan saling berbagi.
Yang terlihat di luar memang selalu indah, padahal kita tak pernah tahu apa yang ada di dalamnya. Bahagiakah? Tersiksakah? Meranakah?