Sudah belasan tahun menikah, kami belum juga dikaruniai seorang anak. Entah mengapa Tuhan belum juga mengabulkan keinginan kami, mungkin Tuhan belum membaca isi suratku.
Â
Malam ini, aku berkirim surat yang kesekian kalinya pada Tuhan, aku melakukannya setiap menjelang tidur.
Â
"Semoga kali ini Tuhan membaca suratku." Harapku sambil meletakkan sepucuk surat tersebut di atas meja
Esoknya, pagi datang begitu cerah. Jendela telah terbuka, sinar mentari masuk menghampiriku yang masih berbaring malas di tempat tidur. Surat untuk Tuhan yang aku letakkan di atas meja sudah raib.
Â
Mungkin sudah diambil oleh Tuhan, begitu pikirku.Â
Â
Aku beranjak dari ranjangku, menyusuri ruangan demi ruangan, hingga akhirnya kakiku mengarah menuju teras dan dikejutkan oleh sesuatu yang kulihat, seorang bayi!
Â
Bayi perempuan mungil dengan baju indah berwarna pink, kulitnya putih, wajahnya molek, pipinya gembil, membuat aku tak henti menatapnya, lalu bayi siapakah ini? Tak jauh dari keranjang bayi tersebut, kutemukan sepucuk surat.
Â
Istriku,
aku tahu kau begitu mendambakan hadirnya seorang buah hati
aku tahu setiap malam kau menuliskan permohonanmu pada sebuah surat untuk Tuhan
maka izinkan aku memberikan hadiah ini
seorang bayi yang merupakan darah dagingku
yang terlahir dari rahim wanita lain
Â
Dadaku sesak. Tangisku pecah. Suratku telah terbaca oleh Tuhan, namun dengan cara yang tak kuinginkan.
Â
-----------------------------------------------------------
Sumber : Ilustrasi Gambar
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H