Putri Apriani, No.11
Pada kenyataannya aku tak pernah bisa benar-benar mencintai orang lain.
**
Mungkin hanya aku yang tahu persis tentang perasaan ini, perasaan padamu tentunya. Ah, andai kau tahu, Rendra. Sedikitpun aku tak pernah mencintai orang lain dan pada kenyataannya aku tak pernah bisa benar-benar mencintai orang lain. Kamu ingat, ketika kita masih duduk di bangku sekolah? Kita seringkali melakukan segala sesuatu bersama, berangkat dan pulang bersama. Banyak yang mengira kita adalah sepasang anak kembar, namun kenyataannya kita hanya sahabat. Dan yang lebih membuatku sesak, hingga kini, setelah sebelas tahun berlalu kau tetap menganggapku sebagai sahabat! Rendra, tidakkah kau merasa bahwa aku menganggapmu lebih dari sekedar itu?
Aku selalu menanti, berharap waktu membawa keberuntungan yang dapat berpihak padaku, sekali saja. Tapi, nyatanya setelah detik aku rangkai menjadi bukit, tetap saja ucapan itu tak pernah keluar dari bibirmu. Satu kata yang mungkin membuat aku jadi wanita paling bahagia di dunia ini. Satu kata itu, cinta.
Aku lelah, lelah berpura-pura tak tahu dengan semua perasaan ini, sementara hatiku berkecamuk, aku takut, takut kehilanganmu, Rendra.
**
“Vit, aku ingin bicara, kamu pasti suka dengan ini.” Ucap Rendra yang tetiba saja datang di hadapanku.
Aku meletakkan cangkir teh yang baru saja aku minum, berusaha terlihat tenang di depan Rendra. “Bicara tentang apa?”
“Dengarkan baik-baik ya. Aku dipromosikan naik jabatan oleh bosku, dan mulai bulan depan aku akan dipindah tugaskan ke Bali!” Rendra menjelaskan dengan penuh semangat.
Bodoh, aku pikir kau akan berkata apa. Kabar baik menurutmu? Itu tandanya aku semakin sulit bertemu denganmu, Rendra! Aku memaki dalam hati.
“Vit, kamu dengar kan?”
“Oh, eh, iya, aku dengar.” Jawab Vita kikuk.
Mungkinkah harus aku yang menyatakan terlebih dahulu? Batin Vita gundah.
“Rendra, aku ingin bicara sesuatu.”
“Tentang apa, Vit? Kedengarannya sangat serius?”
“Aku........”
Belum selesai aku meneruskan ucapanku, dering ponsel Rendra berbunyi. Kalimat yang telah aku siapkan dengan penuh gemetar akhirnya tak dapat tersampaikan juga. Begitu, dan tak pernah dapat tersampaikan hingga Rendra pergi.
**
Pada kenyataannya aku tak pernah bisa benar-benar mencintai orang lain.
Setahun berlalu Rendra kembali ke kota kami. Aku tak menyangka bahwa Rendra membawa jutaan asa yang pernah aku harapkan. Bahagia? Mungkin..
“Vita, maukah kau jadi istriku? Sejujurnya aku telah mencintaimu sejak bertahun-tahun lalu.” Rendra menggenggam tangan Vita, erat.
“Lalu mengapa kau baru mengatakannya sekarang?”
“Aku tak punya nyali, Vit. Butuh waktu yang panjang untuk aku mengumpulkan nyali tersebut.”
“Maaf, Rendra aku tak bisa.”
“Mengapa? Kau tak cinta aku?”
“Aku mencintaimu, Rendra. Tapi dua puluh delapan hari yang lalu, ada seorang lelaki yang datang di kehidupanku, memberikanku sebuah kepastian. Lelaki itu, dia suamiku. Maafkan aku, Ren.”
Suasana mendadak hening, hanya ada suara angin yang mendesir, menusuk luka Rendra yang makin menganga. Dan kini, semuanya sudah terlambat. Hanya ada satu kalimat yang bernada penyesalan “mengapa tak ku katakan sedari dulu? .” Hah, lagi-lagi soal penyesalan.
Ilustrasi : dokumentasi pribadi
NB : untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Comunity
silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H