Oleh : Putri Apriani, No.43
Franda Jelita. Seperti namanya, wajahnya pun cantik jelita, pintar juga berbakat, sedari kecil ia sudah pandai menyanyi, dan ia juga pandai – memikat hatiku – tentunya. Rumahnya hanya berjarak sekitar lima ratus meter dari rumahku. Setiap kali ia lewat depan rumahku, hatiku bergemuruh, senangnya bukan main, namun tak pernah sedikitpun mata ini berani menatapnya. Cukup dengan memandangnya dari kejauhan, cukup begitu saja.
Aku punya mimpi – seperti kebanyakan orang yang memiliki mimpi, mempunyai jabatan tinggi, menjadi artis terkenal, punya rumah dan mobil mewah, harta berlimpah, dan mimpi-mimpi lainnya. Tapi mimpiku berbeda. Salahkah bila mimpiku berbeda? Seringkali kawan-kawan membullyku, kata mereka mimpiku aneh, lucu, atau tak masuk akal. Tak apa, tak jadi masalah bagiku. Yang aku pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar aku dapat menggapai mimpi tersebut.
Tahun ke tujuh sudah terlewat, aku rasa aku jatuh hati pada Franda, jatuh yang terlalu dalam. Aku sadar, aku bukan siapa-siapa, aku hanyalah lelaki buta yang senantiasa melihatnya dari kejauhan, melihat dengan mata batinku tentunya. Lalu, bila ada yang bertanya padaku “Apa mimpimu?”
Lantas aku akan menjawab “Aku hanya ingin mataku dapat melihat, agar aku bisa melihat gadisku, gadis impianku tersenyum padaku, dan mengucapkan Selamat Pagi Rasya.”
Maka izinkan aku melihat senyummu Franda, hanya itu, tak lebih..
Ilustrasi : Senyum Franda
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H