“Disana.” Jari lentiknya menunjuk kearah barat. Aku mengrenyitkan dahi.
Kemudian Kiki bercerita, bahwa sebulan yang lalu, sepulang sekolah ia berjalan sendiri ketika hujan deras tiba-tiba datang. Biasanya ia selalu dijemput oleh Pak Amir tepat pukul satu siang, namun entah mengapa sampai pukul dua, Pak Amir belum juga datang.
Kiki mengaku bosan harus duduk diam di sekolah, hingga akhirnya, tanpa sepengetahuan para guru, Kiki beranjak keluar, merasakan hujan tanpa alat pelindung seperti jas hujan ataupun payung. Dan tanpa sadar sebuah sedan menabraknya, ia terkapar bersimbah darah.
Namaku Kiki. Aku tinggal disana, di Komplek Pemakaman Baratha. Aku selalu merindukan datangnya hujan, bermain lepas, tanpa satupun alat pelindung, entah itu jas hujan ataupun payung. Aku ingin seperti sebulan yang lalu, ketika hujan membawaku pergi untuk selama-lamanya. Aku, Gadis Berpayung Hujan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H