Mohon tunggu...
Johan Yahya
Johan Yahya Mohon Tunggu... -

Usia 16. Pelajar SMA. Pecundang dengan sejuta harapan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Bentukan Internet

21 Juli 2011   15:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:29 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kicauan individualisme

Dari situs jejaring sosial Facebook, remaja beralih ke situs microblogging Twitter. Tidak layaknya Friendster yang dicampakkan begitu saja ketika Facebook hadir, Twitter tidak menarik seluruh jiwa remaja kepadanya. Banyak remaja yang memilih menggunakan kedua situs untuk kehidupan sosialnya di dunia maya.

Tweet dalam Twitter hanya dibatasi sebanyak 140 karakter. Hal ini mendorong para pengguna untuk menyampaikan pesannya secara straight to the point – tanpa basa-basi. Jadinya, ketika seorang remaja menyampaikan perasaan maupun pengalaman pribadinya, mereka cenderung lebih tertutup dan kurang blak-blakan ketimbang bagaimana mereka melakukannya dulu di Facebook. Twitter membentuk karakter remaja online yang lebih individualis dan lebih hemat dalam menyampaikan pendapat. Bagi sebagian, kebiasaan menyampaikan pendapat dalam kalimat singkat dianggap sebagai perilaku yang keren.

Di Twitter, para remaja juga lebih dapat mengaktualisasi diri dengan hal-hal yang benar nyata ada di dunia. Mereka tidak hanya terbelenggu di dalam keasyikan dunia maya seperti yang terjadi pada remaja Friendster. Mereka mem-follow situs berita, blog, maupun tokoh-tokoh dunia.

Dengan batasan karakter, tentunya tidak lagi dimungkinkan cara penulisan alay seperti pada Facebook. Para remaja justru cenderung mengadopsi kata-kata slang English untuk mempersingkat pesan, seperti “LOL”, “ROFL”, “CMIIW”, dan sebagainya. Di sini, kita lihat tidak ada lagi kemunculan tradisi alay yang sebagian orang bilang sebagai – maaf – kampungan.

Namun, yang terpenting yang dapat kita petik dari esai singkat ini adalah bahwa tradisi alay yang selama ini kita, remaja, anggap sebagai budaya remaja kalangan rural atau ketinggalan jaman, tidak sepenuhnya benar. Para alay adalah remaja biasa yang hanya mengikuti tren lingkungan sembari mencari jati dirinya. Buktinya, para pengguna Twitter yang terlihat keren dan cerdas dengan sejumlah link berita di profilnya adalah mereka yang dulu maniak glitter banner alay di Friendster.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ditulis pada rentang pekan kedua bulan Mei 2011. Terinspirasi dari teman-teman sekolah serta akun jaringan sosialnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun