Dari survei kecil-kecilan, saya temukan bahwa salah satu kesalahan eja yang paling dan masih sering digunakan adalah ‘fotocopy’ dan ‘foto copy’. Kita tahu, hal yang dirujuk adalah mesin penyalin yang sering digunakan oleh para siswa mabuk tes untuk memperbanyak soal tes tahun lalu yang didapatkan dari kakak kelas secara sembunyi-sembunyi namun sistematis.
Tapi, mungkin sedikit dari kita yang sadar bahwa ejaan yang benar adalah ‘photocopy’. Itu dalam Bahasa Inggris. Namun, ada ‘fotokopi’ yang secara resmi merupakan kosakata Bahasa Indonesia. Bahkan saya pun baru saja sadar sesaat sebelum menulis mengetahui bahwa ‘photocopy’ mempunyai terjemahan tersebut. Berkat KBBI online. Tentu saja, ‘fotokopi’ adalah kata serapan yang mempertahankan bunyi asli sebagaimana jika ditulis sebagai ‘photocopy’ – sesuai dengan logat lokal tentunya.
Entah para pemilik usaha fotokopi (selanjutnya, saya akan tetap menggunakan ejaan yang benar menurut KBBI) awalnya berniat untuk menunjukkan identitas usahanya menggunakan Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia, tapi seperti sebuah kebiasaan, mereka menggunakan ‘foto copy’ atau ‘fotocopy’. Sebagian dari kita – termasuk saya awalnya – tidak sadar bahwa ada kesalahan eja di sana.
Yang menarik adalah, dalam Bahasa Inggris, kosakata yang merujuk pada mesin penyalin yang sering digunakan oleh siswa mabuk tes itu adalah ‘photocopy’, bukannya ‘photo copy’. Mungkin karena ketidaktahuan akan hal itu, para pengusaha mesin fotokopi mengira bahwa kosakata dalam Bahasa Inggris yang benar adalah ‘photo copy’. Sehingga mereka ragu untuk menerjemahkannya menjadi ‘foto kopi’. Mungkin, karena fakta bahwa ‘foto’ dalam Bahasa Indonesia merujuk ke gambar yang dihasilkan dari proses pengambilan gambar diam (bukan moving picture) menggunakan kamera dan ‘kopi’ merujuk pada jenis minuman (coffee).
Alih-alih menggabungkan ‘foto’ dan ‘kopi’ menjadi ‘fotokopi’, mereka justru menjadikannya ‘foto copy’ atau ‘fotocopy’, intinya, mereka khawatir apabila bagian ‘kopi’ dipersepsikan sebagai salah satu jenis minuman.
Saya tidak akan membahas lebih jauh tentang kesalahan eja yang masih sering digunakan oleh para pengusaha jasa fotokopi. Tapi saya akan membahas tentang ‘kesalahan yang berulang dan luput dari perhatian’. Walaupun setelah kita menyadari kesalahan yang sudah umum itu, kita tentu tidak akan bertindak apapun terhadap pengusaha jasa fotokopi. Tindakan itu tidak akan berpengaruh, bahkan, tidak akan dihiraukan.
Bagaimana dengan kesalahan lain, seperti mencontek? Contek mencontek adalah pelanggaran yang dilakukan secara rapi, sistematis, melibatkan banyak orang, serta ada ‘pengertian’ antar pelanggar. Namun, akhir-akhir ini, rasa pengertian itu justru diberikan oleh pengawas atau guru. Bahkan, dalam beberapa kasus, contek mencontek disponsori oleh guru.
Sebelum beranjak lebih jauh, saya akan mengakui terlebih dahulu bahwa saya juga mencontek. Masih. Jadi, sudut pandang saya di sini adalah sebagai pelanggar yang ‘munafik’.
Saya coba telusuri bagaimana kebiasaan contek mencontek bisa membudaya. Paling tidak di sekolah tempat saya belajar.
Pertama, selama proses KBM, rasa keingintahuan siswa tidak terpenuhi karena berbagai hal, seperti batasan alokasi waktu, guru yang cabut, atau guru yang hanya memberikan PR di tiap pertemuan. Dengan jam sekolah yang lumayan panjang (6.45-14.30), siswa tentunya mencari cara cepat dan mudah dalam mengerjakan PR, bahkan mereka rela datang pagi-pagi di hari pengumpulan PR demi mendapatkan contekan dari siswa yang dianggap mampu. Alasannya tentu saja keterbatasan waktu untuk mencari tahu dari berbagai sumber dan kelelahan – yang terdengar seperti kemalasan.
Kedua, (sebagian besar) guru memang tidak memfokuskan diri pada pemenuhan ilmu bagi para siswanya. Mereka berorientasi pada nilai. Mereka menganggap bahwa nilai adalah tolok ukur satu-satunya atas kesuksesan. Dan memang itu kenyataannya, nilai menjadi satu-satunya tujuan. Kenyataan ini tentu mematikan rasa ingin tahu, keinginan mencari lebih, dan keinginan untuk meneliti dari para siswa. Karena dengan cara yang praktis (tanpa contekan), mereka bisa mencapai tujuan mereka yang sudah nyata di depan mata, nilai.
Ketiga, guru pun memiliki kepentingan untuk membuat baik nilai para siswa. Tidak ada lagi keinginan agar siswanya menjadi cerdas. Hal ini menjadikan nilai sebagai tujuan utama kedua pihak, guru dan siswa. Hal ini pula yang menyebabkan banyak kecurangan siswa yang dibiarkan dan bahkan didukung oleh guru (pengalaman UN SMP 2010). Kemungkinan besar, demi tercapainya rata-rata kolektif sekolah yang baik, pihak sekolah pun juga memberikan dukungan ‘dalam dalam kesunyian’ terhadap tindakan curang ini.
Keempat, sikap ultra-permisif dari lingkungan. Entah kecurangan macam ini merupakan warisan dari generasi sebelumnya atau bagaimana, tapi nyatanya lingkungan luar sekolah pun mendukung dengan ‘malu-malu’ praktek curang seperti ini. Jelas tidak semua, karena masih ada manusia di luar sana yang berhati suci, tidak seperti beberapa dari kami dan saya sendiri.
Mungkin untuk masalah fotokopi, kita hanya akan diabaikan ketika menjelaskan kesalahan eja. Siapa peduli? Kesalahan eja tidak berpengaruh pada penghasilan pengusaha. Toh, orang-orang sudah terbiasa dengan ejaan tersebut. Mereka sudah bisa mengidentifikasikan bahwa tempat itu adalah tempat fotokopian.
Lain halnya dengan kasus contek mencontek, ini adalah masalah internal yang dianggap tidak sopan, walaupun tidak memalukan. Siswa, bahkan guru, secara terang-terangan tanpa rasa malu menyusun strategi ‘saling membantu antar teman’ dalam tes. Asal kecurangan ini tidak sampai diketahui orang luar, aman. Ketika kita mencoba untuk ‘membenahi’ keadaan yang salah ini, kita akan dicap pembangkang, tidak setia kawan, egois, dsb. Jadi, seolah-olah seperti terpaksa, kita harus ikut-ikutan curang. Kita harus ikut-ikutan menggunakan ‘foto kopi’, ‘fotocopy’, atau ‘foto copy’.
Yang menyedihkan adalah fakta bahwa orang-orang macam Siami sangat banyak. Anak macam Alif, yang diam saja karena terintimidasi oleh keadaan, pun juga banyak. Mereka punya perlawanan (walaupun, mungkin, hanya dipendam) terhadap ketidakjujuran. Mereka punya nyanyian kejujuran, hanya saja terpaksa menjadi sumbang karena keadaan.
Dan bagi kalangan dalam sekolah, baik siswa maupun guru, yang ingin menyuarakan suara sumbang tentang penegakan kejujuran macam itu, lupakan. Kita lebih baik bekerja secara jujur SENDIRIAN. Mungkin siswa macam itu tidak akan mendapatkan nilai yang bagus, kepopuleran, serta kasih sayang semu dari guru semu. Tapi saya harap siswa macam itu dapat ‘mengalihkan’ harapan dari nilai. Saya sungguh berharap siswa macam itu sadar bahwa dari ilmu yang didapat, kesuksesan bisa datang bukan dari nilai di rapor.
Saya sungguh berharap siswa macam itu tidak lagi bergantung hanya pada ilmu yang diberikan oleh sekolah. Karena di balik ringkasnya LKS, cepatnya pemahaman dengan seabrek bimbel, serta kerasnya latihan yang diberikan oleh guru, bisa saja ada target yang terlalu picik untuk diperjuangkan dengan mengorbankan martabat diri, nilai.
Salahkan siapa? Semua pihak. Kita sedang mencurangi siapa? Tidak ada yang dicurangi, semua punya kepentingan, termasuk siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H