Epyardi tampaknya tahu betul dengan sabda Rasulullah dan firman Allah tentang pentingnya berbuat baik kepada orang tua, terutama kepada ibu. Maka, sebagai anak laki-laki, yang bertanggung jawab seumur hidup terhadap ibu, selain kepada istri dan anak perempuan, Epyardi pergi merantau untuk bekerja dengan susah payah. Perantauan Epyardi pada akhirnya membuahkan hasil. Dari anak buah kapal, ia akhirnya menjadi kapten kapal, lalu menjadi pengusaha, anggota DPR, dan kini menjadi bupati. Tentu saja semua itu tidak terlepas dari niat Epyardi untuk membahagiakan ibunya, juga atas doa sang ibu kepada Epyardi.
Kisah lain tentang orang yang sukses dengan niat membahagiakan ibunya ialah kisah Basrizal Koto (Basko), pengusaha terkenal asal Padang Pariaman, Sumatera Barat. Dalam akun Helmi Yahya Bicara dalam obrolan berjudul "Ini Baru Sultan! Tapi Simak Rahasia Suksesnya!", Basko menceritakan perjalanan hidupnya sejak kecil hingga mencapai kesuksesan. Seperti halnya Epyardi, Basko berasal dari keluarga miskin. Ayahnya buruh tani, sedangkan amaknya (ibu) menjadi pembantu di rumah orang kaya. Suatu ketika ayahnya merantau, tetapi tidak kembali sehingga amak Basko membesarkan anak-anaknya sendiri.
Ketika kelas 5 SD, sepulang sekolah, Basko melihat amaknya (ibu) meminjam beras kepada salah satu dunsanaknya (kerabat) untuk makan adik-adik Basko. Amak Basko berkata bahwa ia hanya meminjam beras untuk sementara, menjelang Basko pulang sekolah sebab sepulang sekolah Basko membawa beras. Sebagai informasi, Basko pergi ke sekolah sambil menjual keripik ubi balado yang dibuat oleh amaknya. Hasil menjual keripik ubi itu digunakan untuk membeli beras. Siang itu memang Basko sudah membeli beras setelah menjual keripik ubi. Akan tetapi, dunsanak amak Basko tersebut berkata bahwa ia punya beras, tetapi beras untuk dipinjamkan kepada amak tidak ada karena beras yang dipinjam sebelum-sebelumnya belum dibayar. Amak Basko terus memohon untuk dipinjamkan beras, tetapi dunsanaknya itu malah menyuruh amak Basko dan anak-anaknya untuk memakan batu. Amak Basko menangis mendengar hal itu. Basko yang melihat peristiwa tersebut dari jarak beberapa meter bercucuran air mata karena iba melihat amaknya.
Pada malam harinya Basko menyatakan kepada amaknya untuk berhenti bersekolah dan meminta izin untuk pergi merantau ke Pekanbaru. Ia berjanji akan menjemput amak setelah tiga bulan merantau. Amak akhirnya mengizinkannya merantau dengan berpesan, jika Basko sukses, jangan lupa dunsanak, kampung halaman, dan amak. Tidak sampai tiga bulan bekerja sebagai kernet mobil di Pekanbaru, ia menjemput amak dan adik-adikya untuk tinggal di Pekanbaru. Ia menyewakan amak dan adik-adiknya rumah petak, lalu memberi amaknya modal untuk membuat goreng pisang, yang dijual oleh adik-adiknya di terminal. Â
Singkat cerita, Basko akhirnya berhasil menjadi pengusaha setelah berganti-ganti pekerjaan. Padang ia punya, antara lain, hotel dan mal. Ia juga membangun sekolah di kampungnya, Padang Pariaman. Ia tidak melupakan kampung halamannya sebagaiamana pesan amaknya. Epyardi juga begitu. Ia membangun pesantren di Kabupaten Solok. Ia juga membuat objek wisata di sana, yaitu Bukit Cambai. Kedua pengusaha sukses tersebut tidak melupakan kampung halaman mereka setelah sukses.
Pesan yang dapat diambil dari kisah Epyardi dan Basko ialah bahwa ibu merupakan sumber keberuntungan anak. Di balik orang yang sukses, ada bakti kepada ibu. Bagi Basko, yang paling penting baginya ialah apa yang ia dapatkan dinikmati oleh amaknya. Ia orang yang sangat sayang kepada ibunya. Ketika amaknya menelpon karena tidak enak badan, ia meninggalkan pekerjaan sepenting apa pun untuk pergi ke tempat amak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H