TAPERA DIBENTUK APA UNTUNGNYA
Oleh : Purwanto, M.Pd
Akhir-akhir terjadi perbingangan hangat di tengah-tengah masyakarat yakni Program TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat). Program ini tertuang Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat yang disahkan pada 20 Mei 2024.Â
PP terbaru ini menyempurnakan ketentuan dalam PP 25/2020, seperti untuk perhitungan besaran simpanan Tapera pekerja mandiri atau freelancer. Menurut Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho PP ini muncul dengan alasan  berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera), backlog perumahan secara nasional tercatat sebesar 9,95 juta rumah dengan kebutuhan per tahun sebanyak 700 ribu-800 ribu unit per tahun.Â
Sementara, dana subsidi yang dialokasikan melalui penyaluran dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hanya 250 ribu unit. Jadi ada kekurangan 9,95 juta keluarga yang tidak memiliki rumah. Kalau hanya mengandalkan pemerintah saja tidak akan mengejar backlog ini.Â
Kata Heru Pudjo. Â (https://www.metrotvnews.com/read/KRXC5Rxz-pekerja-dengan-gaji-di-bawah-umr-tak-wajib-ikut-iuran-tapera). Niat ini memang ada baiknya, dalam rangka mensukseskan program Perumahan Rakyat sehingga diharapkan terpenuhilah kebutuhan rakyat tentang perumahan.
Sebagai orang awam belum bisa memahami secara menyeluruh atas kebijakan ini, maka timbulah beberapa pertanyaan antara lain.
1. Apakah Pekerja Dengan Gaji UMR Akan Bisa Mendapatkan Rumah? Ambil contoh pekerja yang bekerja di Kota Salatiga, dengan UMK sebesar Rp. 2.378.951,- Kalau ketentuan TAPERA diberlakukan maka seorang pekerja akan memiliki tabungan per bulan sebesar Rp. 3% dari  Rp. 2.378.951,- adalah Rp. 71.369,- maka bila diakumulasi selama 1 tahun sebesar Rp. 856.422,- Selanjutnya apabila diakumulasi selama 10 tahun akan ketemu Rp. 8.564.220,-Â
Dengan asumsi harga satuan bangunan per meter persegi di angka Rp. 4.500.000,- artinya 10 tahun ke depan bisa memiliki bangunan sebesar 2 M persegi. Sekali lagi karena pemikiran penulis ini adalah pemikiran awam, maka sesungguhnya 10 tahun ke depan belum berarti apa-apa untuk memenuhi kebutuhan rumah. Â
Kalau hendak memiliki rumah type 21 saja maka si pekerja harus bekerja selama selama lebih dari 100 tahun bayangkan!!!. Sedangkan usia pensiun anggap saja di usia 60 tahun, maka jelas sampai pensiun pun pekerja itu tidak akan bisa memiliki rumah type 21.
2. Bagaimana Dengan Karyawan Yang Bergaji Besar? Â Anggap saja seorang karyawan bergaji Rp. 20.000.000,- Maka karyawan itu setiap bulan akan dipotong sebesar Rp. 600.000,- selama 1 tahun akan dipotong sebesar Rp. 7.200.000,- Untuk orang-orang yang bergaji di atas Rp. 15 juta umumnya sudah punya perencanaan rumah secara mandiri, bahkan sangat mungkin yang bersangkutan sudah memiliki rumah. Artinya sudah tidak perlu dipikirkan negara tentang kebutuhan rumah melalui pemotongan upah/gaji.Â
Sisi lain angka Rp. 7.200.000 selama 1 tahun bagi pekerja yang berpenghasilan tinggi itu sangat bermanfaat untuk pengembangan hidup, apakah untuk investasi, atau  diproduksikan dengan cara-cara tertentu. Maka ketika dana Rp. 7.200.000 ditabung melalui TAPERA yang belum diketahuai skema pengembalian beserta jasanya, tentu akan sangat menguntungkan apabila dana itu dikembangkan sendiri tanpa mengikuti program TAPERA. Jelas tidak menarik bagi pekerja.
3. Bagaimana Dengan Nasib / Beban Para Pengusaha? Sekilas jelas ada beban tambahan yang diberikan kepada pengusaha. Bayangkan misalnya sebuah perusahaan (Pabrik) memiliki 1.000 karyawan. Anggap saja 1.000 karyawan itu bergaji UMK di Kota Salatiga sebesar Rp. 2.378.951.Â
Maka pengusaha wajib membayar beban TAPERA sebesar 0.5% dari Rp. 2.378,951 = Rp. 11.895. Ya angka ini sekilas terlalu kecil, tetapi coba dikalikan dengan 1.000 karyawan maka pengusaha akan keluar dana sebesar Rp. 11.895.000,- per bulan, kalau dikali 1 tahun maka pengusaha itu akan menyisihkan  sebesar Rp. 142.737.060,-Â
Ini bukan nilai yang kecil, apalagi pengusaha selama ini sudah harus membayar PPh 21, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerajaan. Jelas beban perusahaan semakin berat, sementara tidak semua pengusaha itu dengan mudah memperoleh profit, ada pengusaha yang harus bersusah payah bagaimana  bisa BEP yang penting perusahaan jalan bisa membayar gaji  karyawan dan menutup biaya opearsional, tanpa harus memikirkan kapan bisa profit terlebih dahulu.Â
Maka jelas program TAPERA menambah beban pengusaha. Bila hal ini terus menerus terjadi nanti ada beban apa lagi beban apalagi yang sifatnya wajib bukan tidak mustahil banyak pengusaha yang mengalami kesulitan dan bisa jadi gulung tikar malas memikirkan untuk membuat usaha baru.Â
Di sisi lain kalau hal-hal seperti ini terus terjadi bukan tidak mungkin akan menjauhkan investor baik dalam maupun luar negeri berinvestasi di Indonesia. Dampak berikutnya? Ya pasti akan banyak pengangguran. Dampak berikutnya? Akan terjadi penurunan daya beli masyarakat artinya roda ekonomi tidak bisa bergerak dengan baik dan seterusnya dampak selanjutnya terjadi penurunan pendapatan masyararakat yang bukan mustahil akan menimbulkan masalah sosial. Ini tentu harus dihindari dan diantisipasi.
4. Apakah Kebijakan Ini Sudah Direstui Semua Pihak? Sebagai orang awam penulis bingung, kenapa tiba-tiba ada Program TAPERA, sedangkan kebijakan ini menyangkut kepentingan rakyat banyak. Kenapa kebijakan yang minim sosialisasi tiba-tiba muncul, tiba-tiba ketok palu dalam bentuk Peraturan Pemerintah?Â
Heran juga seharusnya kebijakan yang menyangkut kepentingan rakyat banyak perlu didiskusikan dengan banyak pihak, perlu disosialisasikan ke publik, dikonsultasikan ke para ahli tentang plus minusnya, berapa banyak manfaat yang akan didapat dan seberapa besar dampak negatif yang ditimbulkan.Â
Penulis berpendapat  pemerintah harusnya tidak serta merta ketok palu untuk menjalankan sebuah program.  Keraguan penulis bahwa kebijakan ini minim sosialisasi, sesuai dengan pernyataan Wapres kita sebagai berikut : "Saya kira memang ini sebenarnya belum tersosialisasi dengan baik, kan sebenarnya TAPERA itu tabungan masyarakat untuk saling membantu dalam penyediaan rumah. Kalau yang belum punya rumah itu ada KPR (kredit pemilikan rumah), ada KBR (kredit pembangunan rumah) kalau dia punya tanah dia bisa membangun nanti mendapat pinjaman.
 Kalau yang punya rumah bisa menggunakan KRR namanya kredit renovasi rumah untuk membangun rumah," kata Wapres. (https://www.antaranews.com/berita/4128351/wapres-tapera-perlu-sosialisasi-lebih-lanjut). Jadi seorang Wapres mengatakan hal sedemikian maka penulis lalu berpendapat bahwa kebijakan ini minim sosialisasi. Apa dampaknya? Jelas akan muncul kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.
Di sisi lain  Presiden Jokowi menilai wajar bila muncul keberatan dari masyarakat atas kebijakan ini. Menurut dia, masyarakat pasti akan berhitung besaran potongan gaji yang diberlakukan.
"Iya semua dihitung lah. Biasa. Dalam kebijakan yang baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau nggak mampu, berat atau nggak berat," kata Jokowi di Istora Senayan, Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024).( https://www.detik.com/sumbagsel/bisnis/d-7361254/gaduh-iuran-tapera-potong-gaji-3-jokowi-bandingkan-dengan-bpjs). Penulis berpendapat tidak seharusnya Presiden selalu berkaca pada pengalaman masa lalu tentang Kebijakan BPJS misalnya, namun sudah seharusnya Program ini melalui kajian mendalam dan yang jelas harus diinformasikan kepada masyarakat banyak, bagaimana pendapat, usulan, saran dan seterusnya. Kebijakan yang sudah melalui prosedur sosialisasi maksimal akan meminimalkan kegaduhan di masyarakat.
5. Apakah Program Tapera Harus Bersifat Wajib? Kembali mengutip pernyataan Presiden Dalam kebijakan yang baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau nggak mampu, berat atau nggak berat," kata Jokowi di Istora Senayan, Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024). Â Kalau konsisten dengan pernyataan ini seharusnya Program TAPERA tidak diberlakukan dengan kata "wajib", sebab menurut Jokowi nanti masyarakat akan berhitung, artinya kalau hitungan masyarakat baik pekerja maupun pengusaha program ini tidak menguntungkan maka seharusnya masyarakat diberi pilihan untuk tidak dilaksanakan. Jadi sifatnya sukarela, bukan wajib.Â
Namun kalau hitungan masyarakat tidak menguntungkan dan dipaksakan wajib melaksanakan maka berarti kebijakan ini tidak "pro rakyat". Pertanyaan berikutnya kalau sebuah kebijakan tidak pro rakyat tetap dilakukan, lalu untuk apa kebijakan itu diadakan? Bukankan negara harus bekerja untuk kebaikan rakyatnya? Bukan sebaliknya kerja-kerja negara justeru memberatkan rakyatnya.
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan di atas maka menurut himat penulis Program ini tidak layak dijalankan, setidaknya pelaksanaan nya ditunda bisa perlu dikaji lebih mendalam jangan sampai program yang diluncurkan justeru lebih banyak merugikan. Memang Moeldoko mengatakan : pelaksanaan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tak akan ditunda karena sejauh ini juga belum berjalan. "Kesimpulan saya bahwa Tapera ini tidak akan ditunda, wong memang belum dijalankan," kata Moeldoko dalam konferensi pers, Jumat (31/5). (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240531162256-32- 1104337/moeldoko-tapera-tak-akan-ditunda-wong-belum-jalan).
Pernyataan Moeldoko ini diharapkan bukan sekedar "memberi kelegaan masyarakat untuk sementara" namun hendaknya pelaksanaannya benar-benar mendengar suara rakyat banyak, bukan hanya mendengar pihak-pihak tertentu yang menganggap program ini adalah program yang baik. Perlu disadari bahwa sekalipun dari beberapa kaca mata tertentu program ini menarik dan menguntungkan, namun sebaiknya perlu memperhatikan dari berbagai kacamata lain, sehingga program yang diluncurkan benar-benar berorientasi kepada kepentingan masyarakat banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H