Mohon tunggu...
Burhani Ash-shiddiqi
Burhani Ash-shiddiqi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Putera Nuib Sihise, sebuah nama pena yang ku gubah sendiri.. Aktif di Teater Syahid..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sendal Goni

26 Agustus 2012   01:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:19 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Goni. Lu kenapa nyeker, Tong?”

“Sendal Goni ilang, Mak.”

“Kok bisa?”

“Kagak tau, Mak. Pas Goni abis solat udah kagak ada sendalnya.”

“Aduuh. Coba cari lagi. Lu lupa naro kali.”

“Kagak, Mak. Goni inget banget naronya di mana kok.”

Emak pusing, karena ini sudah ketiga kalinya sandal anaknya hilang di mesjid. Memang hanya sandal jepit murahan, tapi ini cukup membuat Emak sakit kepala.

“Lu jaga rumah ya.”

“Emak mau ke mana?”

“Beli sendal buat lu.”

“Asiik. Sendal baru.”

Emak menghela nafas. Uang belanjanya berkurang lagi. Tapi Emak tidak ada pilihan lain karena tidak mungkin anak semata wayangnya dibiarkan berkeliaran tanpa sandal. Apa kata tetangga? Akan seperti anak tak diurus.

“Horee!!!... Arsenal!!!...”, Goni berteriak gembira karena di sandalnya ada tulisan timbul ‘ARSENAL’.

Emak jadi tersenyum lebar melihat ekspresi senang anaknya setelah sebelumnya merasa berat.

“Goni langsung pake ya, Mak.”

“Iya, emang buat dipake.”, kata Emak sambil tersenyum.

“Yess.”, Goni mengepalkan kedua tangannya seperti merayakan sebuah keberhasilan. Ia pun segera mengenakannya kemudian langsung berlari menuju depan masjid tempat ia biasa bermain dengan teman-temannya.

Emak berharap kali ini sandal anaknya bisa terus dipakai sampai benar-benar habis masa pakainya. Karena sandal jepit berwarna hitam bertuliskan ‘ARSENAL’ itu dibeli dengan harga yang sedikit lebih mahal daripada sandal jepit polos yang biasa ia beli untuk anaknya. Ia juga yakin sandal jepit yang tiga kali hilang itu akibat banyaknya sandal serupa yang dipakai anak lainnya sehingga sandal milik anaknya itu mungkin diakui anak yang lain. Maka dari itu Emak berani sedikit lebih mahal.

***

“Emaak…”

“Apa?”

“Sendalnya…”

Tiba-tiba hati Emak jadi tidak nyaman.

“Kenapa sendalnya?”, Emak berharap anaknya mengatakan sesuatu selain aduan kehilangan, meskipun ia sendiri merasa hampir mustahil demi melihat air muka anaknya.

“Ilang.”

Ah, itu dia. Kata yang tidak ingin Emak dengar. Ia merasa upayanya memilih sandal yang beda dari anak lainnya menjadi percuma. Terlebih harga sandal itu lebih mahal. Dan dengan hasil yang sama. Hilang.

Emak menghela nafas amat berat. Ia tidak habis pikir dan merasa serba salah. Membeli sandal murah, maka akan banyak yang menyamai. Akibatnya banyak pula yang mengakui. Sedangkan membeli sandal yang agak mahal sedikit saja, maka akan jadi incaran kaki-kaki nakal jamaah. Hufh.

“Lu jaga rumah ya.”

“Emak mau ke mana?”

“Beli sendal buat lu.”

“Arsenal lagi ya, Mak…”, pinta Goni.

Emak memijat kecil keningnya sambil berjalan keluar.

***

Goni cemberut karena kecewa yang Emak beli adalah sandal jepit polos seperti yang dulu.

“Bukan sendal Arsenal ya, Mak?”

“Ambilin piso kater.”

“Buat apa, Mak?”

“Buat nandain sendal jepit lu biar gak ilang lagi.”

Goni berjalan lemas menuju tempat pisau cutter disimpan.

“Nih.”, Goni memberikan pisau cutter pada Emak.

“Makan dulu sono. Di dapur ada semur tempe tahu.”

Emak keluar dan duduk di dipan yang terletak di halaman rumah. Ia mulai mengukir-ukir sandal jepit polos yang tali dan bagian bawahnya berwarna merah menggunakan pisau cutter.

***

“Mak, Goni mau maen.”

“Iya. Sendalnya Emak taro di depan yaa.”

“Iya, Mak…”, kekecewaan masih tampak tersisa di raut wajah Goni.

Saat di muka pintu rumahnya Goni terkejut. Karena Emak menandai sandal jepitnya dengan ukiran bertuliskan ‘ARSENAL’.

###

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun