Mohon tunggu...
Burhani Ash-shiddiqi
Burhani Ash-shiddiqi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Putera Nuib Sihise, sebuah nama pena yang ku gubah sendiri.. Aktif di Teater Syahid..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Shubuh

29 Mei 2012   03:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:39 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sepuluh menit adzan dikumandangkan dari mushalla ini. Namun Pak Imam, imam mushalla An-Nuur, belum juga mau untuk memulai shalat shubuh berjamaah ini.

“Sabar yaa.. Kita tunggu lima menit lagi”, begitu kata beliau pada Sholih, dan Pak Shodiq.“Ah, itu dia Pak Joko. Ayo kita mulai, silahkan yang mau iqomat”. Pak Joko tampak tergesa melangkah setengah berlari mendekati pintu mushalla.

“Allaahu akbar”.

*

“Apakah harus benar-benar pindah, Pak?”, Pak Imam tampak sangat gelisah.

“Iya, Pak. Isteri saya baru saja melahirkan. Anggota keluarga bertambah satu lagi. Ya kami harus mendiami rumah yang lebih besar lagi tentunya.

“Betul itu kata Pak Joko. Kalau tidak mencari rumah yang lebih besar, bisa seperti pepes keluarga Pak Joko. Bukan begitu, Pak?”

“Ahahahaha.. Bapak ini bisa saja”, Pak Joko menyambut gurauan Pak Shodiq.

“Yaa Allaah..”, Pak Imam memelas.

“Eh, kenapa Pak Imam? Sedang sakit?”, respon Pak Joko melihat air muka Pak Imam.

Pak Imam menghela nafas. “Tidak apa-apa, Pak Joko. Semoga bapak mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik.”

“Aamiin… Terima kasih doanya, Pak Imam”

**

Shubuh kali ini Pak Imam tidak lagi mengulur waktu seperti yang sering beliau lakukan. Selesai shalat sunnah qobliyah, Pak Imam langsung mempersilahkan salah seorang dari dua jamaah tetapnyauntuk iqomat. Tidak ada lagi lima belas menit dari adzan ke takbiratul ihram, kali ini cukup tujuh menit.

“Waduuh, selamat kalau begitu. Hebat kamu.

“Aah, ini bukan apa-apa, Pak Imam. Teman saya ada yang lebih hebat lagi”, Sholih merendah.

“Ngomong-ngomong, kamu jadi kuliah di UNJ kan?”

“Hmm. Tadinya sih begitu, Pak.

“Lho. Memangnya sekarang?”

“Saya memutuskan akan kuliah di IPB saja, di Bogor.”

“Bukannya kamu sedari kecil bercita-cita jadi guru? Mengapa tidak masuk UNJ?”

“Kalau itu, saya masih tetap ingin jadi guru. Tapi saya juga sangat tertarik di bidang pertanian, makanya saya mau masuk IPB dan mudah-mudahan bisa menjadi dosen pertanian.

Pak Imam terdiam, ia termenung sampai kemudian Sholih menegurnya.

“Pak Imam?”

“Eh, iya.. Semoga kamu sukses yaa..”

“Aamiin.

Pak Imam, menjadi murung, bahkan lebih murung ketika Pak Joko pindah rumah. Tarikan nafasnya pun sangat dalam dan berhembus perlahan seperti ada yang mengganjal tenggorokannya. Namun, yang terganjal bukanlah tenggorokan ataupun kerongkongannya, melainkan pikirannya.

“Yaa Allah. Siapakah lagi yang akan berkenan bangun untuk berjamaah shalat shubuh di rumah kecilmu ini? Hamba tak ingin kampung ini sepi dari semarak ibadah dan malah ramai oleh dengkuran yang lebih nyaring. Kau pun tahu, hamba telah berupaya semampu daya mengajak warga kampung ini untuk shalat shubuh. Yaa Allah…”

****

“Maaf Pak Shodiq, anak isteri semua sehat, Pak?”

“Alhamdulillaah, Pak. Sehat-sehat.”

“Maaf, Pak Shodiq. Hmm. Saya bingung mau mulai dari mana. Begini. Seperti yang telah Pak Shodiq tahu sendiri. Kalau shalat shubuh selalu saja sepi. Bahkan sekarang hampir tiap hari hanya kita berdua saja kalau tak ada musafir yang singgah menginap di mushalla. Sebagai orang yang sudah tua, jujur saya sangat khawatir.”

“Iya, saya juga khawatir dengan keadaan ini. Padahal konon katanya jika jamaah shalat shubuh tidak lebih banyak dari shalat jumat, Islam belum akan menjadi maju. Tapi, saya bingung juga.”

“Bingung kenapa, Pak?”

“Saya sangat ingin sekali menjadikan masjid kita ramai, khususnya ketika shalat shubuh itu. Tapi, bagaimana caranya ya? Apakah kita harus mencari sponsor untuk hadiah umroh bagi jamaah shalat shubuh yang beruntung? Atau kita undang ustadz-ustadz ternama untuk mengisi kuliah shubuh di mushalla kita? Atau…”

Belum sempat Pak Shodiq menyelesaikan pembicaraannya, Pak Imam memotong, “Itu usul yang bisa dipertimbangkan, Pak. Tapi..”

“Tapi apa, Pak Imam?”

“Ada baiknya kalau kita mulai dengan yang paling dekat di hati dan mata kita”

“Maksud Pak Imam? Saya kurang paham.”

“Anak dan isteri kita.”

Pak Shodiq tertegun.

“Saya kira akan sangat baik jika kita mengajak anak dan isteri kita untuk shalat berjamaah di mushalla ini. Setelah itu, kita bisa melakukan pula hal lainnya termasuk saran-saran yang tadi Pak Shodiq sampaikan.”

Pak Shodiq masih tertegun. Melihat itu Pak Imam jadi merasa tidak enak hati. Beliau merasa mungkin dirinya terlalu langsung dan menyinggung perasaan Pak Shodiq.

“Maaf Pak Shodiq. Saya tidak bermaksud…”

“Bukan itu, Pak. Justru saya merasa malu kepada Bapak. Saya selama ini telah membiarkan keluarga yang seharusnya saya pimpin untuk bersama mencapai kasih tuhan, terlena dan lalai di shubuh hari. Astaghfirullaahal’azhiim…”, Pak Shodiq tertunduk dan menutup wajahnya. Ia amat menyesal.

*****

Pak Imam kembali berbunga. Jamaah tetapnya bertambah tiga orang selain Pak Shodiq, mushalla kedatangan pula Fauzan, Rizki dan Bu Aini yang tak lain ialah anak-anak dan isteri Pak Shodiq.

Pak Imam berdoa lebih lama dari sebelumnya. Tampaknya, beliau sangat bergembira, bergembira sekali.

“Alhamdulillaahirobbil’aalamiin. Aku percaya Kau akan mengganti dengan yang lebih baik lagi Yaa Allah. Jamaah shalat shubuh mushalla ini lebih banyak satu orang dari yang sebelumnya. Aku sangat bergembira wahai Robbku, bergembira sekali.”

******

“Tampaknya kita harus benar-benar melakukannya, Pak.”

“Melakukan apa?”

“Mengundang ustadz ternama atau memberikan hadiah umroh.”

“Bapak yakin? Lagipula dananya darimana?”

“Urusan itu, saya bisa mengusahakannya, Pak.”

“Besok saya akan bertemu dengan Bos saya. Saya akan mencobanya. Mungkin dia bisa membantu. Tolong doanya, Pak Imam.”

“Baiklah kalau Pak shodiq yakin. Saya tidak berkeberatan. Saya juga tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan untuk meramaikan masjid ini, khususnya saat shalat shubuh.”

Masih terekam dengan cukup jelas percakapan dengan Pak Shodiq tiga hari lalu itu di dalam pikiran Pak Imam. Apalagi saat melihat orang-orang yang datang bertakziyah membuka kain penutup jenazah Pak Shodiq di hadapan matanya.

Pak Imam merasakan sedih akan meninggalnya Pak Shodiq dalam perjalanannya ke Semarang kemarin untuk bertemu Bosnya. Namun, kesedihan terbesarnya bukanlah itu. Lebih-lebih sedih karena ia akan kehilangan jamaah tetapnya. Bukan hanya satu, tapi seluruhnya. Karena kelurga Pak Shodiq akan pindah ke kampung Isterinya, Bu Aini, di Tasikmalaya. Pak Imam merasa bersedih, bersedih sekali.

*******

Sepertinya shubuh ini Pak Imam akan melakoni semua prosesi shalat shubuh sendiri, dari mulai adzan, iqomat dan shalat pun akan sendiri. Tidak akan ada lagi Pak Imam yang mempersilahkan salah seorang jamaahmya untuk iqomat, tiada lagi Pak Imam yang menunggu koor ‘aamiin’ untuk melanjutkan membaca surat pendek dan nantinya ketika berdoa. Semuanya akan menjadi lebih cepat, mungkin hanya lima menit saja.

Sebelum ia iqomat sendiri, Pak imam sempatkan untuk melirik keluar mushalla mungkin ada orang yang akan mampir di mushalla untuk shalat shubuh. Hhh. Tapi di luar sana sangat sepi, mungkin warga lebih memilih shalat berjamaah di rumah tanpa tertusuk udara dingin shubuh hari. Begitu prasangka Pak Imam.

“Allaahu akbar. Allaahu akbar..”, Pak Imam melengking mengumandangkan iqomat sambil masih berharap akan ada orang ikut shalat shubuh dengannya di mushalla An-Nuur yang sudah sembilan tahun diimaminya. Setelah itu, ia pun memulai shalat subuhnya sendirian.

“Aamiin…”

Pak Imam sedikit terkejut ada suara yang menyahutinya setelah ia selesai mebacakan Al-Fatihah. Ah, Pak Imam senang bukan kepalang, entah mengapa ia pun merasa lebih dekat dengan makmum barunya.

“Muslim? Yaa Gusti Allah..”, Pak Imam langsung memeluk makmumnya tersebut tanpa berdoa dulu seperti biasanya.

“Iya, Pak. Maaf tidak bilang-bilang. Muslim mau cari kerja di sini, Pak. Gak apa-apa kan?”

“Oh, iyalah. Gak apa-apa. Alhamdulillaah…”, Pak Imam sekali lagi memeluk Muslim dengan amat erat.

“Ya Allah Tuhanku. Hamba yakin Kau akan selalu menghadirkan orang-orang yang akan selalu meramaikan rumahMu ini. Kini, kau hadirkan orang yang tidak ku sangka-sangka kedatangannya untuk menjadi jamaah mushalla ini. Terima kasih pula, yaa Allah. Karena telah mengirimkan anakku ini menemani hari tuaku. Aku sangat berbahagia, berbahagia sekali.”

Sanggar Teater Syahid, Ciputat, 17 – 18 Mei 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun