Pola asuh sangatlah menentukan pembentukan karakter pada anak usia dini
Fenomena kecanduan terhadap gadget masih menjadi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, bukan hanya pada anak namun kecanduan gadget sudah menjangkit remaja hingga orang dewasa.
Lantas siapa yang harus disalahkan atas fenomena tersebut?
Sebagai praktisi Ilmu Komunikasi, penulis akan menelaah dengan sudut pandang komunikasi sebuah artikel yang ditulis oleh Oki Aisyatun Hasanah dan Ilhan Juantino dari S1 Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, dengan judul "Pengaplikasian alat permainan edukatif (APE) untuk melindungi anak dari gadget".
Pola komunikasi orang tua terhadap anak
Anak usia dini 0-5 ahun cenderung menirukan apa yang dia dengar dan lihat, pada usia ini pola komunikasi bersifat searah dimana anak hanya menirukan apa yang disampaikan dan dilakukan oleh orang tua serta lingkungan. Pada fase ini terkadang orang tidak tidak menyadari bahwa pola komunikasi yang dibangun berdampak signifikan pada masa depan anaknya.
Sebagai contoh penulis akan memberikan ilustrasi sebagai berikut, saat anak menangis orang tua akan memberikan dua hal memberikan dia susu agar tertidur atau memberikan gadget dengan tontonan kartun atau lainnya berharap si anak bisa diam.
Ilustrasi tersebut penulis berikan berdasarkan beberapa fakta yang penulis dapatkan di masyarakat, dalam ilustrasi tersebut orang tua mengira gadget mampu memberikan stimulan agar si anak berhenti menangis, padahal hal tersebut berdampak luar biasa pada kemampuan otak anak dalam berkomunikasi.
Sebagai perbandingan anak yang lahir pada tahun 1990 ke bawah, saat dewasa cenderung memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik saat berusia sekolah (rata-rata 6 tahun) dibandingkan anak yang lahir pada tahun 2000 ke atas, dimana pada tahun 90-an belum ada teknologi gadget yang semaju hari ini, sehingga orang tua dulu cenderung melakukan pola komunikasi langsung (verbal) untuk berkomunikasi dengan anaknya, contoh mendongeng sebelum tidur, memberikan nasihat saat menangis, menggendong saat rewel atau sakit sembari bercerita atau berdoa, berbeda dengan hari ini yang semuanya dilakukan melalui gadget dalam hal ini smartphone.
Gadget membelenggu kebebasan anak
Teknologi yang awalnya diciptakan untuk mempermudah manusia telah mengalami perkembangan yang luar biasa sehingga berdampak pada pergeseran tujuan dari mempermudah menjadi membelenggu hingga mencoba untuk menggantikan peran manusia. Pada anak, teknologi gadget semakin memanjakan dengan berbagai fitur canggih yang di dunia nyata sulit untuk didapatkan, namun hal itu dapat menjadi bumerang bagi anak karena harus terkena dengan kenyamanan tanpa kerja keras.
Anak akan berfikir jika semua bisa didapat hanya didalam rumah tidak perlu keluar apalagi bersosialisasi secara langsung, hal ini berdampak pada sulitnya anak dalam berkomunikasi saa beranjak remaja hingga dewasa, efeknya adalah dikucilkan dari masyarakat karena dinilai apatis terhadap lingkungan dan terkesan menutup diri atau introvert.
Alat permainan edukasi (APE) dalam menanggulangi kecanduan anak pada Gadget
Berdasarkan artikel yang ditulis oleh mahasiswa psikologi Untag Surabaya tersebut dapat kita lihat bagaimana petani komunikasi dalam pembentukan karakter anak, pada permainan edukatif tersebut anak dituntut untuk bisa berkomunikasi satu sama lain sehingga dapat menebak atau menyusun gambar buah yang harus dicocokkan. Selain melatih motorik dan kognitif anak dengan pada usia bermain tersebut anak lebih mudah dalam berkomunikasi dibandingkan harus mendengarkan tanpa ada gerakan.
Komunikasi guru dan murid bersifat dua arah dan langsung, sehingga efektif dimana ada feedback dari murid saat guru memberikan intruksi yaitu dalam bentuk jawaban atau tindakan dalam permainan.
Pola komunikasi ini yang seharusnya digunakan oleh orang tua dirumah, bukan berarti gadget tidak penting namun bagaimana porsi dan pengawasan orang tua dan lingkungan terhadap gadget yang harus ditingkatkan, dengan cara dampingi dan batasi penggunaan gadget pada anak diselingi dengan bermain atau bercerita dan mendongeng.
Komunikasi dan Peran Aktif lingkungan dalam pengawasan
Pola komunikasi orang tua terkadang tidak sejalan dengan pola komunikasi di sekolah, hal ini yang mengakibatkan adanya reduksi pemahaman anak dalam memahami cara berkomunikasi. Orang tua yang cenderung tidak suka bercerita kepada anak biasanya akan menciptakan karakter anak yang suka mencari perhatian dari lingkungannya dan yang paling parah akan membentuk karakter anak yang pendiam serta sulit bersosialisasi dengan masyarakat luas.
Penggunaan pola komunikasi antar personal dalam belajar merupakan hal yang lebih baik daripada komunikasi satu arah dimana guru menjelaskan murid mendengarkan. Pola komunikasi dua arah inilah yang digunakan pada alat permainan edukatif APE yang digunakan oleh Mahasiswa Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya itu.
Pembentukan karakter anak merupakan tanggung jawab kita semua sebagai orang tua dan guru serta masyarakat bagaimana mengawasi bersama anak dalam pergaulan dan bersosialisasi.
*)Wisnu Bangun Saputro,S.I.Kom jurnalis lepas jatimtimes.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H