Pandemi Covid-19 sudah berjalan selama satu tahun lamanya. Banyak perubahan yang terjadi khususnya dalam aspek  kehidupan bermasyarakat. Pemerintah mengupayakan berbagai cara agar penyebaran Covid-19 ini dapat tertangani. Dari mulai PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Work From Home, PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) sampai yang terbaru yaitu PPKM (Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di daerah Jawa dan Bali.Â
Pemerintah pun menerapkan protokol kesehatan 3M yaitu, menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan, Tentu saja tidak hanya pemerintah yang turut aktif mengupayakan agar penyebaran Covid-19 ini dapat tertangani. Peran masyarakat pun sangat besar agar penularan Covid-19 ini tidak meluas dan memakan lebih banyak orang yang terjangkit.
Peran dan kesadaran masyarakat sangat dibutuhkan dalam kondisi ini. Namun, tentu tidaklah mudah membangun kesadaran di tengah-tengah masyarakat. Kesadaran yang hadir merupakan hasil transmisi nilai-nilai yang ada di masyarakat dan kemudian di internalisasi pada kehidupan sehari-hari.Â
Seperti yang kita ketahui melalui portal-portal berita online maupun siaran di televisi, bahwa kesadaran masyarakat untuk menaati protokol kesehatan sangatlah rendah. Padahal dengan mengikuti protokol kesehatan ini, merupakan bentuk konkrit partisipasi masyarakat untuk mencegah penularan Covid-19.Â
Menurut data yang diunggah oleh Detik.com, sebuah survei yang dilakukan AC Nielsen bekerja sama dengan UNICEF kepada 2.000 responden di 6 kota besar mencoba untuk menggali sikap masyarakat terkait praktik pencegahan Covid-19. Dari survei tersebut ditemukan perilaku masyarakat terkait 3M secara riil di lapangan menunjukan 31,5% dari responden melakukan seluruh perilaku 3M secara disiplin. Selain itu ditemukan juga 36% dari total responden hanya melakukan dua dari perilaku 3M dan 23,2% melakukan 1 dari perilaku 3M. Sementara itu, 9,3% dari responden tidak melakukan kepatuhan 3M sama sekali.
Dilansir dari Kompas.com, mengutip pernyataan dari Juru Bicara Satgas Penaganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito menyatakan bahwa angka kepatuhan masyarakat menggunakan masker adalah 59,32% dan menjaga jarak sebesar 43,46%. Padahal untuk menurunkan tingkat penularan dibutuhkan dari 75% kepatuhan penduduk.Â
Bahkan, dari 512 kabupaten/kota,hanya kurang dari sembilan kabupaten/kota yang patuh menjalankan protokol kesehatan. Agar masyarakat dapat mematuhi protokol kesehatan, dibutuhkan interaksi dan kesadaran oleh kelompok sosial masyarakat. Interaksi kelompok sosial membutuhkan proses solidaritas sosial demi tercapainya tujuan bersama dan terjaganya eksistensi kelompok (Sa'diyah, 2016). Kesadaran kolektif sebagai anggota kelompok dibutuhkan untuk menumbuhkan perasaan atau sentimen kebersamaan dalam menciptakan solidaritas kelompok (Probosiwi & Putri, 2021: 180).
Perilaku rendahnya kesadaran masyarakat ini tidak terlepas dari peran pendidikan kita. Pendidikan kita yang diatur dalam kurikulum lebih menekankan pada kualitas dan keberhasilan diri sendiri.Â
Edukasi yang diberikan hanya sekedar memberikan solusi bagi individu namun tidak bagi masyarakat secara keseluruhan. Sesungguhnya kurikulum yang disusun dalam suatu pendidikan merupakan arena reproduksi sosial yang nantinya akan melahirkan ketimpangan sosial. Apple sangat fokus menjelaskan terjadinya berbagai reproduksi baik ekonomi, politik, maupun kultural. Bagi Apple sekolah hanya melahirkan berbagai ketimpangan, ekonomi, politik, dan kultural (Hidayat, 2011:156).Â
Reproduksi ini tentu tidak lepas dari peranan kelompok dominan yang ingin melanggengkan budaya yang dimiliki oleh kelompok dominan tersebut. Menurut apple, sekolah tidak hanya mengontrol seseorang dalam berperilaku, tetapi juga sekolah mengontrol makna dari produksi pengetahuan yang tertuang dalam kurikulum (Hidayat, 2011: 149)
Budaya atau idelogi yang hadir disekolah akan menentukan output seorang peserta didik. Budaya sekolah merupakan basis interaksi antara semua anggota masyarakat sekolah yang meliputi (Rahmat, 2015:90),
1. Â Nilai-nilai (kepercayaan, kejujuran, dan transparansi,
2. Â Norma-norma peraturan dan perilaku yang berlaku dan disepakati oleh semua anggota
   masyarakat sekolah,
3. Â Kebiasaan yang memberikan keunikan atau kekhususan pada sekolah.
Bahkan seringkali dalam ranah pendidikan terdapat kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik merupakan salah satu dari pemikiran seorang Pierre Bourdieu. Proses kekerasan simbolik adalah makna, logika dan nilai yang mengandung bias tetapi secara halus dan samar dipaksakan oleh komunikator kepada pihak lain. Kekerasan simbolik itu dilakukan berlandaskan adanya kepercayaan, loyalitas, kesediaan untuk menerima dan perasaan berhutang budi kepada pihak yang menjadi sasaran kekerasan simbolik. Harapannya makna, logika dan nilai yang mengandung bias itu diterima oleh pihak yang menjadi sasaran kekerasan sebagai makna, logika dan nilai yang benar, baik, dan dapat dipercaya. (Putri, 2018: 325).
Selain kurikulum, peran guru saat mengajar pun sangat berpengaruh bagi peserta didik. Gaya kepemimpinan guru dapat mempengaruhi cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak siswa di kemudian hari (Damsar, 2012:106).Â
Masih banyak guru yang menekankan bahwa prestasi dan nilai yang diperoleh merupakan tolak ukur keberhasilan seorang peserta didik. Hal ini yang membuat mau tak mau peserta didik berkompetisi untuk menjadi yang terbaik dengan menghalalkan segala cara.Â
Sedangkan bagi peserta didik yang kesulitan memahami pelajaran akan di cap kurang pintar. Dari sini bisa dilihat bahwa, nantinya pendidikan akan gila terhadap sebuah kompetisi. Ini membuat kesadaran kolektivitas dalam masyarakat cenderung luntur. Rasa persatuan dan gotong royong pun perlahan ikut luntur. Imbasnya perbedaan yang terjadi di masyarakat menjadi tembok penghalang bukan untuk menjadi pelengkap satu sama lain.
Pendidikan yang ada saat ini menjauhkan kita dari masalah-masalah yang ada di sekitar kita sehingga membuat daya problem solving dan team work untuk memecahkan masalah cenderung rendah.Â
Pemberian tugas yang banyak dan menumpuk secara tidak langsung bisa mematikan keterampilan siswa dalam pemecahan masalah. Terlebih saat pandemi ini pemberian tugas dan kondisi pembelajaran yang kurang kondusif membuat peserta didik kesulitan membangun kesadaran kolektif.
Sudah seharusnya, pemerintah memupuk kembali rasa persatuan dan kesatuan di diri peserta didik. Pendidikan saat ini yang gila akan kompetensi dan mengejar suatu nilai harus turut diubah. Cara pandang pendidikan yang mempolarisasi perbedaan tidak seharusnya terjadi. Masyarakat harus lebih paham bahwa perbedaan bukan untuk dipermasalahkan namun bagaimana perbedaan dapat mempersatukan dan memperkuat satu sama lain. Mari kita jadikan pandemi ini sebagai evaluasi pendidikan dan kurikulum pendidikan di Indonesia.
Sumber Referensi
Buku
- Damsar. (2012). Pengantar Sosiologi Pendidikan. Kencana
- Hidayat, Rakhmat. (2011). Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers
- Rahmat, Abdul. (2015). Sosiologi Pendidikan. Gorontalo: Ideas Publishing
Jurnal
Fatmawati, Nurul Ika. (2020). Pierre Bourdieu dan Konsep Dasar Kekerasan Simbolik. Madani: Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, 12 (1), 41-55
Putri, Rina Oktafia. (2018). Praktek Kekerasan Simbolik (Relasi Guru dan Pesertad Didik Dalam Pendidikan Islam). Millah, 17 (2), 320-334
Probosiwi, Ratih & Afrinia Lisditya Putri. (2021). Jogo Tonggo: Solidaritas Masyrakat di Era Pandemi Covid-19. SOSIO KONSEPSIA: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, 10(2), 177-191
Retnosari, Putri. (2019). Kekerasan Simbolik Pada Sistem Pendidikan Sekolah Negeri di Indonesia. JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYA DARMA, 6(3), 414-428
Website
Detik (diakses pada tanggal 2 Juli 2020)
Kompas(diakses pada tanggal 2 Juli 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H