1. Â Nilai-nilai (kepercayaan, kejujuran, dan transparansi,
2. Â Norma-norma peraturan dan perilaku yang berlaku dan disepakati oleh semua anggota
   masyarakat sekolah,
3. Â Kebiasaan yang memberikan keunikan atau kekhususan pada sekolah.
Bahkan seringkali dalam ranah pendidikan terdapat kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik merupakan salah satu dari pemikiran seorang Pierre Bourdieu. Proses kekerasan simbolik adalah makna, logika dan nilai yang mengandung bias tetapi secara halus dan samar dipaksakan oleh komunikator kepada pihak lain. Kekerasan simbolik itu dilakukan berlandaskan adanya kepercayaan, loyalitas, kesediaan untuk menerima dan perasaan berhutang budi kepada pihak yang menjadi sasaran kekerasan simbolik. Harapannya makna, logika dan nilai yang mengandung bias itu diterima oleh pihak yang menjadi sasaran kekerasan sebagai makna, logika dan nilai yang benar, baik, dan dapat dipercaya. (Putri, 2018: 325).
Selain kurikulum, peran guru saat mengajar pun sangat berpengaruh bagi peserta didik. Gaya kepemimpinan guru dapat mempengaruhi cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak siswa di kemudian hari (Damsar, 2012:106).Â
Masih banyak guru yang menekankan bahwa prestasi dan nilai yang diperoleh merupakan tolak ukur keberhasilan seorang peserta didik. Hal ini yang membuat mau tak mau peserta didik berkompetisi untuk menjadi yang terbaik dengan menghalalkan segala cara.Â
Sedangkan bagi peserta didik yang kesulitan memahami pelajaran akan di cap kurang pintar. Dari sini bisa dilihat bahwa, nantinya pendidikan akan gila terhadap sebuah kompetisi. Ini membuat kesadaran kolektivitas dalam masyarakat cenderung luntur. Rasa persatuan dan gotong royong pun perlahan ikut luntur. Imbasnya perbedaan yang terjadi di masyarakat menjadi tembok penghalang bukan untuk menjadi pelengkap satu sama lain.
Pendidikan yang ada saat ini menjauhkan kita dari masalah-masalah yang ada di sekitar kita sehingga membuat daya problem solving dan team work untuk memecahkan masalah cenderung rendah.Â
Pemberian tugas yang banyak dan menumpuk secara tidak langsung bisa mematikan keterampilan siswa dalam pemecahan masalah. Terlebih saat pandemi ini pemberian tugas dan kondisi pembelajaran yang kurang kondusif membuat peserta didik kesulitan membangun kesadaran kolektif.
Sudah seharusnya, pemerintah memupuk kembali rasa persatuan dan kesatuan di diri peserta didik. Pendidikan saat ini yang gila akan kompetensi dan mengejar suatu nilai harus turut diubah. Cara pandang pendidikan yang mempolarisasi perbedaan tidak seharusnya terjadi. Masyarakat harus lebih paham bahwa perbedaan bukan untuk dipermasalahkan namun bagaimana perbedaan dapat mempersatukan dan memperkuat satu sama lain. Mari kita jadikan pandemi ini sebagai evaluasi pendidikan dan kurikulum pendidikan di Indonesia.