Mohon tunggu...
Hana Rahmah Gunawan
Hana Rahmah Gunawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi

Be better

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Panggung Drama Pilkada Serentak Tahun 2020

14 November 2020   16:31 Diperbarui: 14 November 2020   16:39 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pilkada Serentak 2020/kabar24.bisnis.com

Oleh Hana Rahmah Gunawan

(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ)

Rasanya tahun 2020 menjadi tahun yang amat panjang bagi kita semua. Pandemi Covid-19 membuat segala aspek kehidupan masyarakat terdampak. Baik itu dalam aspek ekonomi, pendidikan bahkan masuk ke ranah politik. Pada bulan Desember tahun 2019 lalu, Cina melaporkan kepada World Health Organization (WHO) bahwa telah ditemukan coronavirus tipe baru yang gejalanya menyerupai pneumonia. Temuan ini berada di kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. 

Gejala utamanya sendiri meliputi demam tinggi, batuk, dan sesak nafas.Virus baru ini pun dikenal dengan nama Covid-19. Memasuki bulan Januari 2020, pergerakan virus ini sangatlah masif dan tak terkendali. Karena penyebaran virus yang kian hari kian tak terkendali, maka pada bulan  Maret 2020 WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. 

Dikarenakan hal tersebut, pemerintah mengumumkan untuk melakukan pembatasan  sosial berskala besar (PSBB) di beberapa wilayah guna menekan penyebaran Covid-19 yang kian hari kian tak terkendali pada pertengahan Maret 2020. Segala kegiatan masyarakat pun mulai dibatasi. Beberapa karyawan terpaksa melakukan WFH (Work From Home), sekolah-sekolah diliburkan, bahkan pil pahit harus diterima oleh beberapa karyawan karena terpaksa dirumahkan.

Walaupun demikian, hal ini tidak menyurutkan gegap gempita Pilkada Serentak yang akan diadakan pada bulan Desember nanti. Indonesia akan kembali menggelar pesta demokrasi setelah sebelumnya pada tahun 2019 diramaikan dengan gelaran Pemilu. 

Suasana kemeriahan Pilkada ini sebenarnya sudah terasa pada tahun 2019 yang lalu. Berbagai lapisan masyarakat pun sepertinya sudah tidak sabar untuk memeriahkan pesta demokrasi ini. Berbondong-bondong partai politik menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan termasuk menyiapkan beberapa pasangan calon (paslon) untuk diusung pada pilkada nanti.

Jika ditelisik lebih dalam, Pilkada bukan saja sekedar pesta demokrasi semata. Namun juga sebagai arena kompetisi dan adu gengsi antar partai politik maupun antar paslon. Partai politik berlomba-lomba menghadirkan pasangan calon dengan kemampuan dan kompetensi yang amat mumpuni. Hal ini guna menarik simpati dan partisipasi masyarakat untuk memilih paslon tersebut. Berbagai kepentingan dibalik Pilkada ini pun tak luput dari sorotan masyarakat. 

Masyarakat tentunya sudah paham bahwa setiap gelaran Pilkada dan Pemilu tidak terlepas dari kepentingan partai pegusung.  Pilkada tahun ini pun tidak terlepas dari berbagai macam kritik yang datang dari berbagai pihak. Sebagian masyarakat menyayangkan keputusan pemerintah untuk tetap mengadakan Pilkada Serentak ditengah wabah Covid-19. 

Masyarakat menginginkan agar pemerintah fokus dalam pengendalian wabah Covid-19 ketimbang mengurusi politik yang tentunya terdapat berbagai kepentingan segelitir orang di dalamnya. Terlebih Indonesia masih menjadi negara yang dianggap darurat Covid-19. Meskipun berbagai kritik dan penolakan datang dari berbagai pihak, Pilkada ini tetap akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember nanti.

Partai politik dan pasangan calon pun aktif berkampanye. Selain menghadirkan pasangan calon dengan kompetensi dan kemampuan yang mumpuni, para pasangan calon pun  memvisualkan diri mereka menjadi pemimpin yang ideal bagi masyarakat baik itu dalam segi personalitas maupun mental. Baliho dan poster yang memajang wajah pasangan calon pun terpampang di setiap penjuru kota. Ini sekaligus menjadi wadah publisitas karakter paslon. 

Tidak cukup dengan baliho dan poster, para pasangan calon pun terjun langsung dan berdiskusi dengan masyarakat untuk memperoleh aspirasi-aspirasi dan berbagai keluhan masyarakat. Sudah tentu hal ini memiliki makna tersirat yaitu untuk mengambil hati masyarakat untuk memilihnya. 

Dari beberapa rangkaian Pilkada yang telah terlaksana, kampanye dengan teknik diskusi langsung atau dikenal dengan istilah 'blusukan' terbukti ampuh untuk memperoleh suara dari masyarakat. Bahkan kekuatan dari personalitas yang ditampilkan para paslon mampu menggeser dominasi partai politik dalam mempengaruhi pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini mempertegas bahwa visual personalitas yang dihadirkan paslon sangat mempengaruhi. 

Pandemi ini tidak menyurutkan kegiatan 'blusukan' paslon. Blusukan melalui berbagai kanal media digital menjadi sebuah gebrakan baru dalam Pilkada kali ini. Seperti yang dilakukan oleh paslon Walikota dan wakil walikota Solo nomer urut 1, Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa. Pasangan ini melakukan blusukan via online ke daerah-daerah di kota Solo. Blusukan online ini dilakukan demi mencegah penularan virus Covid-19. Propaganda penyampaian visi dan misi via media sosial pun lebih dilakukan agar cepat tersebarnya informasi paslon pada masyarakat.

Dalam perspektif sosiologi sendiri, fenomena pasangan calon yang berlomba-lomba memvisualkan diri menjadi pemimpin yang ideal termasuk ke dalam dramaturgi. Dramaturgi sendiri diperkenalkan oleh Erving Goffman. Teori dramaturgi ini merupakan pengembangan dari konsep Herbert Mead mengenai makna, bahasa, pemikiran, yang kemudian dirumuskan oleh Blumer menjadi apa yang disebut sebagai interaksionis simbolik (Griffin, 2000:54). 

Salah satu premis interaksionis simbolik adalah bahwa makna muncul dari interaksi sosial yang merupakan proses interpretif dua arah, dan fokusnya adalah efek dari interpretasi terhadap tindakannya sedang diinterpretasikan (Griffin, 2000:55). Dramaturgi diambil dari kata drama atau panggung pementasan. Seperti halnya pentas drama, dramaturgi dibagi menjadi dua konsep besar yaitu, front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). 

Di panggung depan (front stages), aktor menginginkan citra dari para penonton. Citra tersebut sebenarnya adalah keinginan mempresentasikan dirinya sesuai dengan apa yang dia inginkan atau yang dituju. Jika kita ingin terlihat sebagai orang yang pintar maka kita akan menampilkan sosok yang pintar dan cerdas di depan orang-orang. 

Tujuannya adalah agar orang menganggap kita sebagai orang yang pintar. Sama halnya dengan para pasangan calon yang ingin terlihat sebagai pemimpin ideal di mata masyarakat. Selain visualisasi diri,  paslon yang memiliki berbagai macam prestasi ditingkat nasional maupun daerah akan dengan mudah menarik perhatian di masyarakat. Paslon tersebut dapat memanfaatkan prestasinya untuk berkampanye. Sebaliknya hal ini akan menjadi hal yang sulit apabila paslon tersebut belum memiliki track record di kancah daerah maupun nasional.

Front Stage sendiri dibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu settings dan personal front. Maksud dari settings adalah suasana fisik yang mendukung aktor untuk tampil. Personal front adalah atribut atau perlengkapan yang dipakai oleh aktor. Perlengkapan ini mencakup appreance (penampilan) dan manner (sikap). 

Apabila suatu pasangan calon sedang blusukan ke sebuah pasar dan ingin mendapatkan citra pribadi yang sederhana, maka paslon tersebut akan berpenampilan amat sederhana misal kemeja putih dan celana hitam bahkan cenderung merakyat. Tutur kata pun disesuaikan dengan sedemikian rupa agar peran dan citra pemimpin masyarakat yang sederhana terwujud. Kembali lagi, bahwa tujuan dari hal ini adalah agar rakyat bersimpati dan memilih paslon tersebut.

Sedangkan backstage adalah tempat individu melakukan beberapa hal yang tersembunyi sebelum tampil di front stage Bisa saja individu tersebut menyembunyikan tabiat aslinya di back stages. Dalam Pilkada ini tentunya siapapun ingin memiliki citra yang baik di depan masyarakat. 

Umumnya orang-orang akan menampilkan diri mereka sebagaimana mereka ingin dicitrakan dan tentunya mereka akan menyembunyikan hal-hal tertentu yag tidak ingin publik ketahui karena ditakutkan  hal-hal tersebut akan merusak citra dan peran yang dihadirkan oleh sang aktor. Menurut Ritzer, ada beberapa hal yang disembunyikan. Pertama adalah kebiasaan-kebiasaaan tersembunyi atau secret pleasure, misalnya meminum minuman keras. 

Kedua adalah kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunjukan, atau langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Ketiga adalah aktor mungkin merasa perlu menunjukkan hanya produk akhir dan menyembunyikan proses memproduksinya. Misal pasangan calon yang sebenarnya berasal dari luar daerah tempat dia mencalonkan diri berusaha terlihat seperti sudah lama tinggal dan mengenal budaya di daerah tersebut secara natural. 

Padahal dirinya mempelajari kultur dan budaya di tempat tersebut secara sengaja dengan waktu yang lama. Keempat adalah mungkin saja aktor menyembunyikan 'kerja kotor' yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak (kerja kotor itu mungkin meliputi tugas-tugas yang secara fisik kotor ataupun semilegal. Kelima, dalam melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan standar lain, misal menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan yang dibuat sehingga pertunjukan dapat berlangsung.

Pada intinya konsep dramaturgi ini menghadirkan pemahaman bahwa dalam tingkah laku masyarakat ibarat seperti pementasan drama yang penuh sandiwara. Tentunya setiap orang ingin memiliki citra sesuai yang diinginkan individu maupun orang di sekitarnya. Hal ini pun tidak terlepas dari aksi kampanye para pasangan calon menjelang Pilkada Serentak 2020. 

Sudah sepantasnya kita sebagai pemilih menjadi lebih selektif saat memilih pasangan calon yang akan memimpin daerahnya masing-masing. Kecanggihan teknologi dapat membantu kita untuk mencari informasi tambahan mengenai track record para pasangan calon. Jadikan hal ini sebagai pesta demokrasi dan momentum pemerintahan Indonesia ke arah yang lebih baik. Pilih pasangan calon yang memang menujukkan keinginanya membangun daerah dibanding pasangan yang hanya mengandalkan nama mentereng semata. Mari kita rayakan pesta demokrasi dan tetap menjaga protokol kesehatan.

Sumber rujukan

Arif, M Farida. 2014. Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014. JURNAL

INTERAKSI, Vol 3 No 2,

Griffin, E. (2000). A First Look at Communication Theory, 4th ed. Boston:McGraw

Hil Higher Education.

Ritzer, George. et al (2004) Teori Sosiologi Modern (terj). Jakarta: Prenada Media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun