Sebenarnya sudah sejak lama aku berhenti berpuisi. Matamu yang nanar membelah lautan dangkal yang tidak mampu kuselami menjadi sedih sedan itu.
Ada banyak bahkan ketika kau tidak di sini, anjing anjing itu bergerumul, bodoh, dan kalut. Mereka tidak seperti Ahmad Karaeng yang ditulis Darwis, hidup dalam balutan gincu Agama yang mudah luntur.
Lalu kemudian tiada malam yang habis, kota yang tidak pernah mati membawa kita pada hal yang tidak pasti. Dulu, aku menulis begitu dalam dan kuselipkan namamu di halaman belakang.
Tapi kini, kita terjebak pada keinginan dunia yang terus membuat kita bertanya tanya. Kadang kita harus mengakhiri hidup dengan setenggak racun, atau menutup malam dengan sepenggal lagu dari Ardhito.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H