Tidak hanya demikian, bahkan perubahan UU KPK juga terdapat keanehan dalam prosesnya pembentukannya dimana proses pembahasan dan pengesahannya begitu cepat dilakukan oleh DPR. Sementara, terdapat antrean RUU Pertanahan, Â dan RUU lainnya yang sebetulnya telah dimuat terlebih dahulu dalam prolegnas tetapi justru tidak disahkan menjadi UU oleh DPR. Hal ini, mengindikasikan bahwa dalam perubahan UU KPK, kuat dugaan ada unsur politis dan kepentingan didalamnya. Â
Padahal lahirnya KPK adalah buah dari reformasi yang tidak percaya urusan hukum sepenuhnya ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan, sebabnya KPK lahir sebagai Lembaga independent yang dalam pelaksanaanya tidak bertanggung jawab sepenuhnya kepada Presden. Pasca Orde baru, sisah sisah praktek korupsi itu masih bertahan di era reformasi, mereka bersembunyi menjadi birokrat yang merangkap menjadi politisi dan pengusaha. Praktek ini disebut oleh Yoshihara sebagai pemburu rente. Â Sebabnya sudah sepatutnya para pelaku tindak pidana korupsi ini diberantas, yaitu dengan menguatkan KPK.
Namun, kenyataan justru berbanding terbalik. KPK terus saja dilemahkan dengan berbagai upaya hingga klimaksnya pemecatan 57 pegawainya. Kini masadepan penanganan korupsi ada ditangan masyarakat Indonenesia. Pamor KPK yang kian memudar, menandakan nasib pemberantasan korupsi kini di ujung tanduk.Â
RujukanÂ
Â
Kunio, Yoshihara, 2001, Kapitalisme Semu Di Asia Tenggara, LP3S, Jakarta.
Hamid, Usman, 2020, Capaian KPK: Mengapa dilemahkan ?, (KPK)
Madaskolay V. D, 2020, Menyoal Urgensi dan Prosedur Pembentukan Revisi UU KPK, Journal Perpektif Volume 25 Nomor 2, LPPM Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.
Nur Muhammad, Fathoni, Kajian Polemik Revisi UU KPK,
Suyatmiko, Wawan, Coruption Perception Indeks, (Transparency Internasional Indonesia)Â
Widoyoko. Danang, Transparency International Indonesia,