Mohon tunggu...
Poor Aspiration
Poor Aspiration Mohon Tunggu... -

"The real tragedy of the poor is the poverty of their aspirations." -Adam Smith

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mematahkan Kutukan Minyak

30 Desember 2011   00:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:35 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13297318172064245829

Bagaimana mungkin, kelimpahan luarbiasa atas sumberdaya alam- minyak, gas, emas, tembaga, nikel, bijih aluminium, bijih besi- tidak secara signifikan meningkatkan produksi dan kekayaan negara? Ironisnya, kebanyakan analis menyimpulkan bahwa, terutama di negara berkembang, peningkayan sumberdaya alam cenderung mengurangi dan bukannya meningkatkan kehidupan masyarakat dalam suatu negara.

Bahaya itu tampil dalam bentuk penderitaan ekonomi yang dijuluki “penyakit Belanda”. (Economist menggunakan istilah itu pada tahun 1970-an untuk menggambarkan kesulitan para pengusaha manufaktur di Belanda setelah ditemukan gas alam di negara itu.) Penyakit ini menyerang ketika peningkatan permintaan ekspor ke luar negeri atas gas berakibat menguatnya nilai tukar mata uang negara itu. Penguatan nilai mata uang itu membuat produk ekspor lainnya (selain gas) dari negara tersebut tidak kompetitif (menjadi lebih mahal). Para analis sering mengutip pola itu sebagai alasan, mengapa Hongkong, Jepang & Eropa Timur yang sumber daya alamnya relatif sedikit telah maju pesat, sementara Nigeria, Indonesia dan negara kaya minyak lainnya tidak.

“Sepuluh tahun dari sekarang, dua puluh tahun dari sekarang, kita akan melihat: Minyak akan menghancurkan kita”, itu kata mantan Menteri Perminyakan Venezuela dan rekan pendiri OPEC Juan Pablo Alfonso pada tahun 1970-an. Dia dengan sangat tepat memperkirakan kegagalan hamper semua negara OPEC untuk menggunakan kekayaan mereka dalam melakukan diversifikasi yang signifikan selain minyak dan produk semacamnya. Selain merusak nilai mata uang, kekayaan sumber daya alam yang sering mengakibatkan efek sosial (social cost) yang melumpuhkan, sebagaimana yang terjadi saat ini di Papua. Apabila dicermati lebih dalam, ternyata kekayaan yang mudah diperoleh dan tidak perlu susah-susah dicari cenderung melemahkan produktivitas.

Beberapa negara kaya minyak di kawasan Teluk telah memberikan kenyamanan yang sangat melimpah bagi warganegaranya, yang mana seharusnya kelimpahan itu hanya didapatkan oleh orang-orang yang giat bekerja. Pekerjaan manufaktur, peternakan & perkebunan serta tugas-tugas domestik rumah tangga misalnya, diberikan kepada tenaga kerja asal Indonesia, pekerja Pakistan dan Afrika yang dengan senang hati mengumpulkan upah yang jauh lebih tinggi dibanding pekerjaan serupa di negaranya. Sedangkan pengaruh politis memungkinkan sekelompok orang membangun sebuah rezim yang mampu bertahan terlalu lama dengan memanfaatkan sebagian pendapatan dari sumberdaya alamnya untuk membagikan kesenangan, sehingga setiap protes kepada rezim itu dapat diredam.

Sebagaimana Sao Tome & Principe (negeri yang kecil di lepas pantai barat Afrika), setelah di wilayah pantai negeri itu ditemukan cadangan minyak mentah dalam jumlah besar, menyebabkan reaksi yang beragam sehungan dengan ekploitasi minyak tersebut. Presiden Fradique de Menez berkomentar pada 2003 “saya telah berjanji kepada rakyat saya, bahwa kami akan menghindari apa yang disebut “penyakit Belanda”, atau kebangkitan minyak mentah atau kutukan minyak. Statistik memperlihatkan bahwa negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya, mengalami kinerja yang sangat buruk dalam hal pertumbuhan PDB dibandingkan dengan negara-negara yang miskin sumber daya. Beberapa indicator sosialnya juga berada dibawah rata-rata. Di Sao Tome de Principe, kami bertekad untuk menghindari paradoks kekayaan itu."

Sama halnya dengan Indonesia di era 60 dan 70an, patut diduga bahwa kutukan itu masih kita rasakan hingga kini. Semangat produktivitas yang mulai bangkit & berasal dari proses kreatif inovasi jatuh ketika sumber daya alam Nusantara mulai dieksplorasi saat itu melalui keran investasi. Sektor migas dan pertambangan menjadi tulang punggung ekonomi nasional yang kontras dengan pembangunan sumberdaya manusia dalam bentuk investasi jangka panjang. Benar, bahwa petumbuhan ekonomi kita mencapai puncak tertinggi dalam sejarah nasional, namun kegagalan dalam menjamin keunggulan manusia Indonesia gagal total. Akibatnya, penderitaan ekonomi dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan fondasi sistem ekonomi yang lebih stabil dilupakan, sedangkan konflik kepentingan hadir di setiap sendi kehidupan bernegara.

Barangkali tidak sedikit orang yang lupa bahwa turunnya cadangan minyak nasional dan jatuhnya produksi minyak dalam negeri mencapai lebih dari 10% setahun terakhir sesungguhnya membawa manfaat. Bangsa Indonesia dipaksa untuk melakukan efisiensi dan pengaturan kembali peta dan alokasi energi nasional, meskipun resiko beban subsidi BBM dikatakan menjadi sandera konflik kepentingan politik. Pada tahun-tahun mendatang bukan tidak mungkin produktivitas nasional akan meningkat seiring perbaikan pendapatan masyarakat, peningkatan konsumsi dan ketahanan ekonomi domestik. Indikasi itu sangat kuat. Asosiasi industri baja nasional melaporkan peningkatan permintaan untuk pengiriman kuartal kedua dan ketiga tahun depan, meningkat lebih dari 20%. Konsumsi retail nasional terus tumbuh di atas 13% ditengah terpaan pengaruh resesi ekonomi global, meskipun pasar modal nasional sangat dinamis merespon perkembangan di kawasan. Demikian juga dengan perbankan nasional tentu semakin siap setelah melewati masa-masa yang sulit pada tahun 1998 dan 2008. Optimisme tampak dari tingkat kompetisi dan strategi ekspansi di sektor kredit korporasi, properti dan konsumsi karena melihat permintaan di sektor itu masih sangat menarik.

Berakhirnya ketergantungan kepada sektor migas telah membawa negara kita kepada kreativitas, produktivitas dan optimisme pasar sehingga ekonomi nasional menjadi semakin lentuk. Di sektor penerimaan bea dan cukai, target penerimaan meningkat tak kurang dari 23% tahun ini, demikian juga potensi wajib pajak diproyeksikan meningkat lebih dari 10% tahun depan. Sebagaimana diketahui, bahwa sektor infrastruktur mendapatkan porsi tambahan dalam belanja negara 2012, yang artinya memberikan sinyal bahwa investasi di sektor ketahanan dan stabilitas ekonomi pada gilirannya akan mendorong produktivitas dan distribusi di dalamnya. Kutukan minyak akan lebih cepat diakhiri apabila kebijakan subsidi dihitung kembali dengan sangat rinci dan serealistis mungkin, dengan tetap mempertahankan stabilitas “katup pengaman”. Angka subsidi yang amat tepat akan memperbesar investasi jangka panjang & pada akhirnya akan semakin cepat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Beberapa tahun kedepan, Indonesia masih akan menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Kerja keras dan optimisme akan mematahkan kutukan minyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun