Mohon tunggu...
Oom Somara De Uci
Oom Somara De Uci Mohon Tunggu... Seniman - Radio Rarama Kedaton Cibasale

Pegiat Seni dan Budaya. Sepakbola, jalan-jalan, baca dan ngariung jadi hobi. Tinggal di Pustaka Kemucen, Aryakamuning 19 RAJAGALUH - MAJALENGKA. 45472

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Beasiswa S2 untuk Penulis Sunda

16 Desember 2010   02:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:41 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seorang kawan di Majalah Media Da'wah Basa Sunda, yang ketika itu saya juga rutin mengisi kolom "Pangbeberah", menyarankan saya mengirim aplikasi ke BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh) Jawa Barat. Karena di sana, katanya, banyak sekali "uang yang diparkir". Sejatinya demikian, angka-angka yang mencapai ratusan juta itu semestinya mudah saja untuk dikeluarkan semata Rp.1,6 juta untuk setiap satu semester. Namun, kembali saya mendapat tangan hampa.

Saya ingat ketika kecil dulu didongengkan "Si Kabayan". Salah satunya yang "Ngadeupaan Lincar". Tentang seorang tetangga kaya yang mengundang banyak orang namun melupakan Si Kabayan yang justru rumahnya paling dekat. Lalu Si Kabayan dengan bertelanjang "ngadeupaan lincar", mengukur dengan jarinya jarak antara rumahnya dengan Sang Tetangga Yang Kaya. Dulu saya merasa lucu sekali mendengar dongeng itu, ayah saya memiliki buku yang bergambar Si Kabayan "ngadeupaan lincar"dengan ditonton orang banyak. Namun kini dongeng itu terasa sangat satire.

Pulang Kampung But Never Say Goodbye Kesundaan

Saya menyaksikan teman-teman seangkatan menyelesaikan study. Juga "adik-adik" kelas saya. Ada beberapa yang mencantumkan nama saya sebagai ucapan terimakasih didalam thesisnya, karena banyak membantu selama perkuliahan baik diskusi maupun semata pertemanan. Unik juga bahwa saya bersama Nenden Lilis Aisyah, penulis yang juga istri almarhum sahabat saya Beni R Budiman, bahkan pernah menjadi obyek study adik kelas saya, Senny Suzana Alwasilah (2002) dengan judul,"The Creative Process of Writing: A Case Study of Three Indonesian Fiction Writers".

Buku saya yang pertama juga terbit dalam status sebagai Mahasiswa Pasca. Buku itu berjudul Astrajingga Gugat, dengan kata pengantar Prof. Dr. Rochiaty Wiriatmadja, MA. Guru Besar dari Jurusan Sejarah IKIP Bandung ini dahulu sering menulis dengan sandiasma Aty Wr. Namanya tercatat dalam Kandjut Kundang. Buku Astrajingga Gugat saya cetak sendiri dari uang Carpon Pinilih Sunda sebesar Rp. 500.000. Tentu saja jauh dari cukup. Bantuan terbesar saya dapatkan dari adik saya, almarhum Daday Sunandar, yang ketika itu menjadi desainer grafis Pesantren Daarut Tauhiid.

Ceu Aam Amilia menyarankan saya untuk menulis cerita hidup saya itu karena ia mengasuh kolom "Romantika Kehidupan". Namun Abdullah Mustafa tidak setuju. Katanya," Punta-penta teh ulah, enya ngeunah mun dibere dina henteuna era mah geus pasti". Jangan suka meminta-minta, benar enak kalau diberi, tapi kalau tidak malunya minta ampun.

"Sapa suru (h) datang Jakarta", itu adalah idiom untuk mengolok-olok orang yang kalah bertarung di Jakarta. Kota yang telah menerima saya sebagai Mahasiswa Sejarah di IKIP Jakarta dulu. Kalimat yang nadanya saya pikir sama akhirnya saya dapatkan, "Dititah ku saha kuliah deui, Kasep?". Kalimat itu artinya kurang lebih," Disuruh siapa kamu kuliah lagi, Kasep?"

Itu adalah ucapan seorang pensiunan Guru SD yang saya datangi secara tidak sengaja. Ia yang semula pengagum tulisan-tulisan saya malah mengajari saya tentang 17 Pupuh Sunda. Suaranya lantang bergetar, menguraikan siklus kehidupan; ulah kabita ku guluburna dunya, hidup yang jaya ada kalanya sirna, semua kesulitan datang dari diri sendiri, juga semua kesenangan. Ada banyak orang yang tak seberuntung saya. Kesejukan yang sederhana, mengantar saya pulang kampung. Itu tahun 2002.

Lama saya tak ke Bandung. Beberapa teman karirnya sudah hebring. Bahkan ada yang menjadi Dekan atau Ketua Jurusan. Saya masih tetap menulis. Entah nama saya dikenal atau tidak, soalnya saya tidak pernah mendapat satupun undangan dari Paguyuban Penulis atau lembaga Kesundaan lainnya. Saya ingat heureuy almarhum Kang Nano S. "Yi, lamun hayang nyaho urang sohor atawa henteu, ketik we ngaran sorangan dina internet!"

Terakhir (2009) saya mendapat kabar dari Dhipa Galuh Purba, buku saya "Koruptor, Sapuluh Carita Pondok" terpilih sebagai salah satu yang dibeli Pemda Jawa Barat melalui SK Gubernur Ahmad Heryawan. Namun sudah setahun berlalu kabar itu tak pernah ada lagi tindak lanjutnya. Saya pernah mendatangi gubernuran Gedong Sate menanyakan kabar itu. Diminta bertanya saja ke Dinas Pendidikan Jawa Barat. Nikmat juga dipingpong, nya? Hm, nasib, bahkan salinan SK-nya saja sampai sekarang saya belum pernah lihat!

Ala kuli hal, saya senang membaca surat Pak Jaya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun